إبن إسـمـاعيـل المــهـاجـريـن

Foto saya
Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.

Sabtu, 31 Januari 2009

Risalah Nikah (4)

Islam telah menjelaskan bahwa kehidupan suami istri semata-mata untuk menegakkan pilar-pilar rumah tangga dan saling bekerjasama yang baik untuk menciptakan suasana yang kondusif dan damai sehingga kedua mempelai mampu meraih semua harapan dan keinginan. Rumah tangga bukan sebuah perusahaan yang masing-masing hanya bertujuan untuk mengejar keuntungan pribadi yang tidak peduli akan kerugian pihak lain, bahkan pernikahan merupakan suatu perjanjian dan sumpah setia antara suami dan istri yang sama-sama mempunyai tugas mulia yaitu kerjasama yang baik dalam rangka merealisasikan kehidupan bahagia bersama.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya." (QS. Al-A’raaf: 189).

Islam tidak rela salah satu dari suami istri, bahagia di atas penderitaan atau kehinaan yang lain, karena kedua mempelai tidak menyambung tali pernikahan kecuali untuk saling membantu dalam membentuk kehidupan yang sukses. Karena itulah hak dan kewajiban rumah tangga yang ditetapkan oleh Islam terhadap suami istri, ada hak-hak yang harus ditegakkan secara bersama-sama, ada hak-hak yang harus ditegakkan oleh suami dan ada hak-hak yang harus ditegakkan oleh istri.

Di antara hak-hak yang harus ditegakkan bersama-sama yaitu[1]:
1. Kerjasama dalam rangka menegakkan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
2. Menjalani kehidupan rumah tangga dengan tulus, ikhlas, setia dan penuh kasih sayang.
3. Hendaknya masing-masing suami istri merasa memiliki tanggung jawab penuh terhadap tugas dan kewajiban yang ada di pundaknya.
4. Antara suami dan istri harus kerjasama dengan baik dalam rangka mewujudkan suasana tenang dan gembira serta berusaha maksimal untuk menjauhkan perkara-perkara yang dapat mendatangkan keburukan dan kesedihan.
5. Tidak menyebarkan rahasia masing-masing dan tidak menyebut-nyebut keburukan pasangan di depan orang lain karena itu akan melecehkan harga diri pasangan di depan orang lain.
6. Hendaknya selalu berpenampilan baik dan menarik di depan pasangan masing-masing.

Hak-hak istri terhadap suami
1. Memberi mahar secara penuh[2].
2. Memberi nafkah dengan layak berupa makanan, pakaian, tempat tinggal sesuai dengan kemampuan suami[3].
3. Mempergauli secara baik[4].
4. Berusaha menyelamatkan keluarga dari api neraka dengan cara mengarahkan keluarga kepada kebenaran dan menyuruh mereka menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya[5].
5. Hendaknya seorang suami memiliki perasaan ghirah (cemburu) yang wajar dan syar’i yaitu menjauhkan istri dari gangguan kaum laki-laki baik berupa pandangan, ucapan, atau sentuhan.
6. Hendaknya seorang suami mengajarkan kepada istri ilmu agama terutama hal-hal yang berkaitan dengan kewanitaan.
7. Hendaknya bersikap adil terhadap semua istri.
8. Seorang suami tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan dan hak-haknya untuk mendzalimi istri. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Berhati-hatilah terhadap kedzaliman karena sesungguhnya kedzaliman adalah kegelapan pada hari kiamat." (HR. Muslim)

Hak-hak suami terhadap istri
1. Menaati suami dalam kebaikan[6].
2. Hendaknya istri memelihara dan menjaga kehormatan dan harta kekayaan suaminya[7].
3. Menjaga harga diri dan perasaannya hingga tidak melihat sesuatu darinya kecuali kebaikan dan tidak mendengar sesuatu darinya melainkan sesuatu yang menyenangkan.
4. Mendidik anak.
5. Hendaknya menunaikan tugas dan pekerjaan rumah tangga dan demikian itu merupakan tugas alami dan fitrah setiap wanita.

Khatimah

Setiap laki-laki dan perempuan memiliki harapan agar pernikahannya membuahkan ketenangan dan ketentraman yang dapat meringankan berbagai masalah hidup yang dialami. Karena dalam mengarungi kehidupan berkeluarga, siapapun tidak akan terlepas dari berbagai masalah baik masalah kehidupan sehari-hari maupun masalah yang timbul dalam rumah tangga. Dan jika masalah-masalah tersebut tidak dapat diatasi maka dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan dalam bahtera rumah tangga.

Dari pembahasan diatas sudahlah menjadi sebuah kejelasan bagi kita tentang tujuan kita menikah, adab-adab dalam meminang hingga menikah, hak-hak suami dan istri dalam mengarungi rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Dalam pembahasan diatas, penulis menyajikan materi berdasarkan dalil-dalil yang diperoleh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Hal ini dimaksudkan agar pembaca memiliki hujjah yang kuat mengenai masalah pernikahan yang kerap menjadi pertentangan di kalangan masyarakat berdasarkan adat dan budaya masing-masing.

Pembahasan mengenai masalah pernikahan harusnya dilihat dari sudut pandang syari’at Islam, karena itulah sebenar-benar hukum yang langsung berasal dari Allah Tabaaraka wa Ta’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam untuk kita jadikan pegangan dan pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia.

Akhirul kalam, penulis berharap bahwa risalah yang ditujukan untuk mendapat ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala ini dapat memberikan manfaat dan pencerahan kepada pembaca sekalian.
Wallahu Ta’ala a’lam bishowwab.

Penyusun: Ummu Sufyan Rahma bintu Muhammad
Muraja'ah: Ibnu Isma'il Al-Muhajirin

Maraji':
1. Al-Qur'an dan terjemahan.
2. Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Jilid II, oleh Lajnah ad-Daimah lil Ifta'; penyusun Amir bin Yahya al-Wazan; penerjemah Zaenal Abidin Syamsuddin, Lc; cet. IV; penerbit: Darul Haq.
3. Risalah Nikah, oleh Ahmad bin Abdul Aziz al-Hamdan; penerjemah Zaenal Abidin Syamsuddin, Lc; cet. V; penerbit: Darul Haq.
___________
Foot note:
[1]Risalah Nikah hal 51, cetakan Darul Haq.
[2]QS. An-Nisaa’: 4
[3]QS. Al-Baqarah: 233
[4]QS. An-Nisaa’: 19
[5]QS. At-Tahrim: 6
[6]Hadits riwayat Ibnu Majah no: 1853; Ahmad IV/381; Ibnu Hibban no:1290 – Mawaarid – Al-Baihaqiy VII/292, dari jalan Ayyub bin Abi Tamimah As-Sakhtiyaaniy, dari Qasim bin ‘Aus Asy-Syabaaniy, dari ‘Abdullah bin Abi Aufa.
[7]QS. An-Nisaa’: 34

1 komentar:

  1. assalamu'alaykum.. jazakallahu khoir atas ilmunya..
    http://tentarakecilku.blogspot.com/

    BalasHapus