Kenapa Harus Menikah?
Menikah merupakan salah satu sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Setiap insan tentu mendambakan sebuah pernikahan yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Untuk mencapai sebuah pernikahan yang sakinah, mawaddah wa rahmah, maka setiap muslim harus mengetahui tata cara pernikahan itu sendiri mulai dari tujuan pernikahan, hingga masalah-masalah yang umum terjadi dalam sebuah pernikahan.
Pernikahan bertujuan untuk mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan memperoleh keturunan. Setiap muslim dianjurkan untuk menikah sesuai dengan perintah Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
“Artinya: Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian[1](yang belum menikah) di antara kamu, dan orang-orang yang shalih[2]dari hamba-hamba sahaya kamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahaya kamu yang perempuan,. Dan jika mereka miskin, niscaya Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dari sebagian karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(QS. An-Nuur: 32).
Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan pada para wali perempuan untuk tidak menolak lamaran laki-laki shalih seperti perintah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits berikut:
"Jika ada seorang laki-laki datang kepadamu yang telah kalian ridhai agama dan akhlaqnya maka nikahkanlah dan jika tidak kamu lakukan maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar." (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad hasan).
Menikah bertujuan untuk menjaga kehormatan suami dan istri. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, diriwayatkan dari Abu Hurairah radiallahu'anhu:
"Tiga orang yang sudah pasti mereka akan mendapat pertolongan Allah: 1). Mujahid yang (berperang) di jalan Allah. 2). Seorang budak yang berusaha menebus (membayar) dirinya. 3). Dan seorang laki-laki yang menikah karena hendak menjaga kesopanan dirinya."[3]
Menikah merupakan salah satu sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Menikah juga bertujuan untuk melangsungkan keturunan, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada umatnya untuk memperbanyak keturunannya dari pernikahan tersebut. Ummul Mukminin ‘Aisyah binti Abu Bakar radiallahu'anha berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
"Nikah itu adalah Sunnahku. Barangsiapa yang tidak (mau) mengamalkan Sunnahku, maka ia bukan dari (orang yang mengikuti Sunnah)ku. Nikahlah! Karena sesungguhnya aku akan berbangga (dengan banyaknya) kamu (pada hari kiamat) dihadapan semua umat. Oleh karena itu barangsiapa yang telah mempunyai kemampuan (untuk menikah), maka hendaklah dia menikah, dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia shaum, karena sesungguhnya shaum itu baginya merupakan tameng."[4]
Apabila seorang pemuda telah memiliki kemampuan untuk menikah maka disarankan untuk segera menikah, sedangkan untuk yang belum mampu lebih baik berpuasa. Dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radiallahu'anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah karena sesungguhnya ia mampu menjaga pandangan dan memelihara kemaluan, dan barang siapa tidak mampu, maka berpuasalah karena hal itu adalah obat pengekang baginya."[5]
Hadits di atas merupakan petunjuk dan nasehat yang sangat besar sekaligus sebagai obat mujarab dari sebuah penyakit yang membebani hati, fikiran, dan badan. Karena menikah ditujukan untuk meredam syahwat khususnya bagi para pemuda, di mana pada diri mereka terkumpul kekuatan syahwat yang sangat besar yang terus menerus memberikan gangguan kepada hati dan fikiran mereka. Oleh karena itu, setiap muslim sangat dianjurkan untuk menikah. Kemampuan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah kemampuan yang telah ada dalam diri para pemuda seperti memberikan mahar (mas kawin), menyediakan tempat tinggal, nafkah, dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
"Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai suatu kewajiban." (QS. An-Nisaa’: 4)
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. An-Nisaa’: 34)
"Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal…" (QS. Ath-Thalaq: 6)
bersambung insya Allahu Ta'ala...
Penyusun: Ummu Sufyan Rahma bintu Muhammad
Muraja'ah: Ibnu Isma'il Al-Muhajirin
___________
Foot note:
[1] Orang-orang yang sendirian adalah terjemahan dari lafazh AL AYAAMA bentuk jama’ AYYIMU. Yang artinya sesuai dengan bahasa Arab adalah: “Laki-laki yang tidak punya istri atau perempuan yang tidak punya suami. Baik laki-laki dan perempuan itu masih bujangan dan gadis. Atau status mereka telah menjadi duda dan janda.” Lihat Tafsir Ibnu Katsir.
[2]Shalihin dalam ayat ini dapat berarti: shalih dalam agamanya. Bisa juga berarti hamba sahaya yang telah layak atau pantas untuk dikawinkan. Lihat Tafsir As-Sa’diy.
[3]Hadits hasan. Telah dikeluarkan oleh Tirmidzi no: 1655; An-Nasaa’i no: 3120 dan 3128; dan Ibnu Majah no. 2518.
[4]Hadits Shahih lighairihi. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Majah no: 1846, dan dinyatakan shahih – yakni lighairihi – oleh Syaikh Albaniy di shahihahnya no: 2383.
[5]SHAHIH. Telah dikeluarkan oleh Bukhari no. 1905, 5065 dan 5066; Muslim no. 1400, dan yang selain keduanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar