إبن إسـمـاعيـل المــهـاجـريـن

Foto saya
Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.

Minggu, 17 Januari 2010

Adab Memuji

Salah satu nikmat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya adalah lisan. Lisan laksana pedang bermata dua. Lisan dapat menjadi sarana ketakwaan kepada Allah, sekaligus lisan juga dapat menjadi alat untuk mengikuti kehendak syaithan. Oleh karena itu, lisan memiliki dua bahaya besar, yaitu: mengucapkan perkara yang bathil dan tidak dipergunakan untuk mengungkapkan kebenaran. Maka lisan wajib dijaga dan dikendalikan, karena jika tidak dia akan menjadi ‘alat pembunuh’ yang berbahaya akibat apa yang keluar darinya.

Sebagaimana perkataan seorang penyair:
يموت الفتى من عثرة بلسانه
وليس يموت المرء من عثرة الرجل
فعثر ته بلسانه تذهب رأسه
وعثرته بر جله تبراء على مهل
Karena ketergelinciran lisan, seorang bisa mati
Seorang tak akan mati karena tergelincir kaki
Tergelincir lisan sebabkan kepala tiada
Sedangkan tergelincir kaki akan sembuh tanpa luka


Salah satu ‘produk’ lisan adalah pujian. Pujian adalah ungkapan kekaguman terhadap orang lain karena kelebihan yang dimilikinya, baik itu berupa kecantikan atau ketampanan, kekayaan, kepintaran, dan sebagainya. Manusia pada dasarnya senang dipuji dan dikagumi, karena pujian diisyaratkan sebagai suatu bentuk perhatian orang lain terhadap dirinya. Akan tetapi Islam telah mengatur tata cara dan adab memuji terhadap orang lain yang mengandung banyak kebaikan.

Pujian terbagi menjadi pujian yang tercela dan pujian yang diperbolehkan,
Pujian yang tercela
Yang dimaksud dengan pujian yang tercela adalah pujian yang berlebihan dan pujian yang dapat menyebabkan orang yang dipuji merasa bangga diri (‘ujub).
Dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa ada orang yang memuji temannya yang ada disamping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ويلك قطعت عنق صا حبك, قطعت عنق صا حبك
“Celakalah engkau, kau telah menggorok leher saudaramu. Kau telah meggorok leher saudaramu!”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya beberapa kali. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من كان منكم مادحا أخاه لا محالة فليقل: أحسب فلانا والله حسيبه ولا أزكي على الله أحسبه كذا وكذا إن كان يعلم ذلك منه
“Barang siapa yang terpaksa harus memuji saudaranya, maka katakanlah: ‘Aku kira si fulan demikian dan demikian, tetapi Allah-lah yang menilai (keadaan sebenarnya). Aku tidak mau menilai atas nama Allah (kepada seseorang) demikian dan demikian, jika memang kelebihan itu ada pada dirinya.” [Hadits shahih, riwayat Bukhari (III/158) dan Muslim (IV/2297)]

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar ada orang yang memuji saudaranya dengan sangat berlebihan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أهلكتم أو قطعتم ظهر الرجل
“Kalian telah mematahkan punggung saudara kalian (kalian telah membinasakannya).” [Hadits shahih, riwayat Bukhari (III/158 dan Muslim (IV/2297)]

Ibnu Baththal menyimpulkan bahwa larangan itu diperuntukkan bagi orang yang memuji orang lain secara berlebihan dengan pujian yang tidak layak dia terima. Dengan pujian ini orang yang dipuji tersebut, dikhawatirkan akan merasa bangga diri, karena orang yang dipuji mengira bahwa dia memang memiliki sifat atau kelebihan tersebut. Sehingga terkadang dia menyepelekan atau tidak bersemangat untuk menambah amal kebaikan karena dia sudah merasa yakin dengan pujian tersebut.

Oleh karena itu, para ulama menjelaskan bahwa makna hadits: ‘Taburkanlah debu ke muka orang yang memuji orang lain!’[1] adalah berlaku untuk orang yang memuji orang lain namun dengan cara yang berlebihan.[2]

Pujian yang dibolehkan
Tidak diragukan lagi bahwa memuji orang lain adalah termasuk penyakit lisan, jika menyebabkan orang yang dipuji merasa bangga diri atau jika pujian tersebut dilakukan secara serampangan atau melampaui batas, yakni berlebih-lebihan. Namun, jika pujian itu tidak mengandung hal-hal tersebut di atas, maka hukumnya diperbolehkan.

Imam Bukhari rahimahullahu Ta’ala memberi judul untuk salah satu bab dalam kitab Shahih beliau: “Bab Orang yang Memuji Saudaranya Berdasarkan Fakta yang Diketahui”. Imam Bukhari menyebutkan bahwa Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak pernah kudengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut kepada seseorang yang berjalan di muka bumi ini sebagai calon penghuni Surga kecuali hanya kepada ‘Abdullah bin Salam.” [Hadits shahih, riwayat Bukhari (VII/87), lihat juga al-Fath (X/478)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melukiskan sifat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu sebagai berikut,
ما لقيك الشيطان سا لكا فجا إلا سلك فجا عير فجك
“Jika syaithan berpapasan denganmu pada suatu jalan, niscaya dia akan mencari jalan lain selain jalan yang engkau lalui.” [Hadits shahih, riwayat Muslim (IV/1864) dan al-Fath (X/479)]

Pujian yang diperbolehkan untuk diberikan kepada saudara kita adalah pujian yang tidak berlebihan dan orang yang dipuji tidak dikhawatirkan merasa bangga diri, maka pujian seperti ini diperbolehkan. Oleh karena itu, pujian dengan sesuatu yang sesuai fakta dan dengan sewajarnya sajalah yang diperbolehkan. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun dipuji dalam syair, khutbah, dan pembicaraan. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menaburkan debu ke muka orang yang memujinya dengan pujian yang wajar tersebut.[3]

Apa yang harus dikatakan ketika memuji?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إذا رأى أحدكم من أخيه مـا يعجبه, فليدع له بالبركة
“Jika salah seorang di antara kalian melihat sesuatu yang menakjubkan dari saudaranya, maka hendaklah dia mendo’akannya agar diberikan keberkahan kepadanya.” [Hadits shahih, riwayat Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (II/716 no.2), Ibnu Majah dalam Shahih-nya (II/265) dan Ahmad dalam Musnad-nya (III/447)]

Do’a mohon keberkahan saat mendapati (melihat) sesuatu yang menakjubkan dirinya pada saudaranya,
مـا شـا ء الله لا قوة إلا بـالله, أللـهـم بارك عليه
Maasyaa Allaah (atas kehendak Allah), tidak ada kekuatan melainkan hanya dengan (pertolongan) Allah. Yaa Allah, berikanlah berkah padanya.”[4]

Imam Nawawi rahimahullahu Ta’ala mengatakan bahwa dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, banyak sekali hadits yang berisi pujian kepada seseorang. Berdasarkan hal itu, para ulama mengatakan bahwa cara mengkompromikan antara hadits-hadits yang kelihatan bertentangan itu adalah dengan memaknai larangan itu berlaku untuk pujian yang berlebihan, pujian yang ditambah-tambahi dengan kedustaan atau pujian yang dikhawatirkan akan muncul rasa bangga diri di dalam diri orang yang dipuji. Namun, jika tidak dikhawatirkan akan terjadi hal demikian, maka diperbolehkan memuji meskipun dihadapan orang tersebut. Hal ini dikarenakan kesempurnaan ketakwaan, keteguhan akal dan kemantapan ilmu yang dimiliki oleh orang yang dipuji. Bahkan hukumnya menjadi sunnah apabila dengan pujian, maka dia akan termotivasi untuk senantiasa berbuat kebaikan, menambah amal kebaikan, dan memberikan teladan yang baik kepada orang lain.[5]
Allah lebih mengetahui akan hal ini.
Wallahu a’lam.

_____________
Catatan kaki:
[1] Hadits shahih, riwayat Muslim (IV/2297).
Dari Hammam bin al-Harits radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita bahwa ada seseorang yang memuji Utsman radhiyallahu ‘anhu. Miqdad lalu duduk berlutut. Al-Miqdad radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang bertubuh besar. Beliau pun akhirnya menaburkan batu kerikil kepada orang tadi. Utsman lalu berkata, ‘Apa yang sedang kamu lakukan?’ al-Miqdad berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jikalau kalian melihat ada orang yang memuji orang lain maka taburkanlah debu ke mukanya.’
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menaburkan debu ke muka orang yang memuji dengan berlebihan.
[2] Fat-hul Baari (X/477).
[3] Idem.
[4] Ad-Du’aa’ wal ‘Ilaaj bir Ruqaa minal Kitaab was Sunnah, Syaikh Sa’ad bin ‘Ali bin Wahf al-Qaththani, hal. 105.
[5] Syarah Imam Nawawi fii Shahih Muslim (XVIII/126), lihat juga Afaatul Lisaan fii Dhau’il Kitaab was Sunnah, Syaikh Sa’ad bin ‘Ali bin Wahf al-Qaththani.

1 komentar:

  1. “Maasyaa Allaah (atas kehendak Allah), tidak ada kekuatan melainkan hanya dengan (pertolongan) Allah. Yaa Allah, berikanlah berkah pada pemilik blog ini.”

    BalasHapus