إبن إسـمـاعيـل المــهـاجـريـن

Foto saya
Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.

Kamis, 29 Januari 2009

Risalah Nikah (3)

Syarat-Syarat Nikah

Seorang yang akan menikah haruslah memenuhi beberapa persyaratan nikah yaitu:

Pertama: Adanya kedua mempelai
Seorang laki-laki yang akan menikah, maka dia harus memiliki calon pasangan yang akan dinikahinya. Adapun kriteria wanita yang paling baik untuk dijadikan istri berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radiallahu'anhu:

"Wanita itu biasa dinikahi karena empat perkara: Karena hartanya, karena kemuliaan keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah yang taat beragama, karena jika tidak niscaya kau akan merugi.[1]"
Dan diriwayatkan pula dalam hadits yang lain:

Dari Jabir bin ‘Abdullah radiallahu'anhu, ia berkata: Aku pernah menikahi seorang wanita pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu aku bertemu dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau bertanya (kepadaku): ‘Ya Jabir, apakah engkau telah menikah?’Aku menjawab: ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Dengan perawan atau janda?’ Aku menjawab: ‘Dengan janda.’ Beliau bertanya lagi: ‘Kenapa tidak perawan saja yang engkau dapat bermain dengannya?’ Aku menjelaskan: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai beberapa orang saudara perempuan, maka aku khawatir dia masuk di antaraku dan di antara saudara-saudara perempuanku.[2]Beliau bersabda: ‘Kalau begitu (alasanmu) bagus. Sesungguhnya perempuan itu biasa dinikahi karena agamanya, karena hartanya, karena kecantikannya, Maka hendaklah engkau memilih yang taat beragama, pasti engkau akan beruntung.[3]

Di dalam dua buah hadits yang mulia diatas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita akan adat atau kebiasaan laki-laki menikahi wanita karena salah satu dari empat perkara diatas. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan petunjuk kepada kita untuk memilih yang tertinggi dan termulia yang akan memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat, yaitu pilihlah yang beragama. Yang dimaksud dengan yang beragama ialah wanita yang shalihah sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr radiallahu'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

Dunia ini adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan dunia ialah wanita shalihah.[4]
Hadits ini sebagai tafsir dari apa yang dimaksud dengan sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: Pilihlah yang beragama. Yaitu wanita yang shalihah.

Dari Abu Umamah radiallahu'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Tidak ada perkara yang lebih bagus bagi seorang mukmin setelah bertaqwa kepada Allah daripada istri yang shalihah, bila ia menyuruhnya maka ia menaatinya, bila ia memandangnya membuat hati senang, bila bersumpah maka ia mendukungnya, dan bila ia pergi maka ia dengan tulus menjaga diri dan hartanya. (HR. Ibnu Majah)

Tetapi hal ini tidak berarti bahwa laki-laki tidak boleh memilih wanita yang cantik dan seterusnya sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Hurairah radiallahu'anhu. Maksud hadits ini adalah apabila seorang laki-laki memilih wanita yang cantik parasnya, kemudian dia harus melihat pula apakah wanita pilihannya itu adalah wanita yang shalihah? Kalau jawabannya ‘Ya’, maka akhlaqnya secantik wajahnya, dan dia boleh melanjutkan pilihannya. Akan tetapi kalau jawabannya ‘Tidak’, maka dia dihadapkan kepada dua pilihan yang salah satunya harus dia tentukan dan tetapkan. Imma dia melanjutkan pilihannya dan mendahulukan kecantikan paras dari keshalihan. Imma dia membatalkan pilihannya, berarti dia telah mendahulukan keshalihan (yakni agama) dari kecantikan.

Di sini Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan pengarahan dan petunjuk serta nasehat yang besar bahwa: Janganlah kau kalahkan agamamu dengan segala macam kecantikan dan harta benda duniawi. Padahal sebaik-baik kesenangan, kemewahan, harta benda dunia adalah wanita shalihah. Maknanya, jika pilihan seorang laki-laki jatuh kepada wanita shalihah, berarti dia telah memiliki harta benda dan kesenangan dunia yang terbaik. Istimewa kalau wanita shalihah pilihan itu seperti yang diinginkan.

Demikian juga untuk para wanita, maka hendaklah dia memilih laki-laki yang shalih yang akan menuntunnya ke jannah dan menjaganya dari api jahannam. Perhatikan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

Dari Sahl bin Sa’ad As Saa’idiy radiallahu'anhu, ia berkata: Ada seorang laki-laki lewat dihadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau bertanya kepada laki-laki yang sedang duduk di sisi beliau: ‘Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?’ Maka laki-laki (yang sedang duduk disisi beliau itu) menjawab: ‘Dia adalah seorang laki-laki dari orang yang paling mulia (yakni karena kekayaannya). (Orang) ini, demi Allah, layak sekali kalau dia meminang (pasti) akan (diterima pinangannya kemudian) dinikahkan, dan kalau dia meminta tolong (pasti) akan ditolong, dan kalau dia berkata (pasti) akan didengar.’Sahl bin Sa’ad As-Saa’idiy radiallahu'anhu berkata: Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diam (tidak menjawab). Kemudian lewat lagi seorang laki-laki (yang lain), maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kembali bertanya kepada laki-laki yang sedang duduk disisi beliau: ‘Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?’Maka laki-laki itu menjawab: ‘Wahai Rasulullah, ini adalah seorang laki-laki dari orang-orang faqir kaum muslimin. (Orang) ini patut kalau dia meminang (pasti) tidak akan dinikahkan, dan kalau dia meminta tolong (pasti) tidak akan ditolong, dan kalau dia berkata (pasti) tidak akan didengar.’
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Orang ini lebih baik sepenuh bumi dari yang seperti orang itu (yakni orang yang sebelumnya).[5]

Kedua: Mahar nikah
Dalam sebuah pernikahan harus ada pemberian harta sebagai mahar pernikahan berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya: Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 4)

“Artinya: Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisaa’: 24)

Dan dalam sebuah hadits disebutkan:

Dari Sahl bin Sa’ad radiallahu'anhu: Bahwasanya telah datang seorang perempuan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku datang untuk memberikan diriku kepadamu.’
Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat kepadanya. Beliau melihat kepadanya ke atas dan ke bawah berulang kali, kemudian beliau menundukkan pandangannya. Maka tatkala perempuan itu melihat bahwasanya beliau tidak memutuskan sesuatu tentang dirinya, ia pun duduk. Maka berdirilah seorang laki-laki dari shahabat beliau, lalu laki-laki itu berkata: ‘Wahai Rasulullah, kalau sekiranya engkau tidak mempunyai hajat kepadanya, maka nikahkanlah aku dengannya.’
Maka beliau bertanya (kepada laki-laki itu): ‘Apakah engkau mempunyai sesuatu (sebagai maharnya)?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Tidak (punya), demi Allah, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda: ‘Pergilah kepada keluargamu, kemudian lihatlah, apakah engkau mempunyai sesuatu!’
Maka laki-laki itu pun pergi kemudian kembali dan berkata: ‘Tidak ada, demi Allah, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: ‘Lihatlah kembali (barangkali engkau mempunyai sesuatu), meskipun (hanya) sebuah cincin besi!
Maka laki-laki itupun pergi kemudian kembali dan berkata: ‘Tidak ada, demi Allah, wahai Rasulullah, walaupun (hanya) cincin besi. Akan tetapi inilah kain saya (hanya inilah yang saya punya).
Sahl berkata: Kain (yang dia punya) tidak ada ridaa’ (selendangnya), maka dia akan memberikan kepada perempuan itu setengah kainnya (sebagai maharnya).
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (kepadanya): ‘Apa yang bisa engkau perbuat dengan kainmu itu? Kalau engkau pakai kain itu, maka perempuan ini tidak bisa memakainya, dan kalau perempuan ini yang memakainya, maka engkau pun tidak bisa memakainya.’
Kemudian laki-laki itu pun duduk sampai lama duduknya, kemudian dia berdiri (akan pergi). Maka ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat laki-laki itu pergi, beliau memerintahkan orang untuk memanggilnya. Maka setelah laki-laki itu datang, beliau bersabda: ‘Apakah yang ada padamu dari (surat-surat) Al-Qur’an? (yakni yang engkau hafal di luar kepala). Dia menjawab: ‘Surat ini dan itu’ Dia menyebutkan beberapa surat. Beliau bersabda: ‘Apakah engkau hafal (surat-surat tersebut). Laki-laki itu menjawab: ‘Ya.’ Beliau bersabda: ‘Pergilah (bawalah perempuan ini), karena sesungguhnya telah aku kawinkan engkau dengan perempuan ini dengan (mahar) apa yang ada padamu (yang engkau hafal) dari Al-Qur’an.[6]

Mahar adalah sepenuhnya hak wanita yang harus dipenuhi oleh calon suami. Mahar tidaklah harus berupa harta atau benda, mahar juga dapat berupa mengajarkan Al-Qur’an kepada calon istri, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits di atas.

Ketiga: Adanya wali bagi perempuan
Seorang perempuan baik gadis maupun janda tidak sah nikahnya melainkan dengan adanya wali. Sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

Dari Abu Musa radiallahu'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Tidak sah nikah kecuali dengan wali.[7]

Dari Abu Hurairah radiallhu'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: “Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan (yakni menjadi wali bagi perempuan), dan perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri (yakni nikah tanpa wali).[8]

Telah sharih(jelas) berdasarkan hadits-hadits diatas bahwa menikah tanpa adanya wali adalah tidak diperbolehkan karena walinya (terutama bapaknya) merupakan orang yang paling mengetahui tentang kemaslahatan si wanita. Tetapi, wali juga tidak boleh menghalang-halangi anaknya untuk menikah dengan laki-laki yang sebanding apalagi jika laki-laki tersebut adalah seorang laki-laki yang shalih.

Namun, apabila seorang wanita sama sekali tidak mempunyai seorang pun wali dari pihak bapaknya – karena wali tidak boleh dari pihak ibu – maka yang bertindak sebagai wali nikahnya adalah Sulthan (penguasa) atau wakilnya seperti Hakim atau Qadhi (Di Indonesia adalah seperti KUA).

Dalam hadits disebutkan:

Dari ‘Aisyah radiallahu'anha: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Siapa saja perempuan yang nikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil, maka nikahnya bathil, maka nikahnya bathil. Maka jika dia (laki-laki yang menikahinya tanpa wali itu) telah berhubungan dengannya, maka dia berhak memperoleh maharnya karena dia telah menghalalkan farjinya. Maka jika mereka berselisih, maka Sulthan adalah sebegai wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.[9]

Keempat: Menikah atas dasar sukarela (suka sama suka)
Salah satu syarat menikah adalah ridhanya calon mempelai. Tidak boleh seorang bapak memaksa putrinya yang masih gadis ataupun yang sudah janda untuk menikah. Tanda persetujuan menikah dari seorang gadis adalah dengan diamnya dan tanda persetujuan dari seorang janda adalah dengan ucapannya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

Dari Abi Salamah radiallahu'anhu: Sesungguhnya Abu Hurairah telah menceritakan kepada mereka (para Tabi’in): Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Seorang janda tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai persetujuannya[10], dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan sehinggan diminta izin (persetujuannya).’ Mereka bertanya: ‘Wahai Rasulullah, (anak gadis itu) bagaimanakah izinnya?’ Beliau menjawab: ‘Diamnya (adalah izinnya)[11].

bersambung insya Allahu Ta'ala...

Penyusun: Ummu Sufyan Rahma bintu Muhammad
Muraja'ah: Ibnu Isma'il Al-Muhajirin
___________
Foot note:
[1]SHAHIH. Diriwayatkan oleh Bukhari no: 5090 dan Muslim no: 1466.
[2]Yakni nantinya akan menjadi beban bagiku. Selain aku mengurus saudara-saudara perempuanku yang masih kecil-kecil, aku juga harus mengurus istriku. Oleh karena itu aku menikahi janda agar dapat membantuku dalam mengurus adik-adik perempuanku.
[3]SHAHIH. Diriwayatkan oleh Muslim sesudah hadits Abu Hurairah.
[4]SHAHIH. Diriwayatkan oleh Muslim no: 1467.
[5]SHAHIH. Dikeluarkan oleh Bukhari no: 5091 dan 6447.
[6]SHAHIH. Telah dikeluarkan oleh Bukhari no: 5126 dan Muslim no: 1425.
[7]SHAHIH. Telah dikeluarkan oleh Abu Dawud no: 2085, Tirmidzi no: 1102 dan Ibnu Majah no: 1881.
[8]Shahih Lighairihi. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Majah no: 1882. Hadits ini dishahihkan – yakni lighairihi – oleh Imam Al-Albaniy dalam Irwaa-ul Ghalil no: 1841.
[9]SHAHIH. Dikeluarkan oleh Abu Dawud no: 2083; Tirmidzi no: 1102 dan ini lafazhnya; dan Ibnu Majah no: 1879.
[10]Yakni sampai diminta darinya pernyataannya dan perintahnya dengan tegas mau atau tidak.
[11]SHAHIH. Telah dikeluarkan oleh Bukhari no: 5136, 6968 dan 6970; dan Muslim no: 1419.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar