Oleh: Muhammad Ashim bin Musthofa
Sungguh sangat memprihatinkan, pemandangan sejumlah kaum muslimin yang asyik menyulut rokok di serambi masjid. Padahal, biasanya hal-hal yang berbau asap, hanya di jumpai di tempat-tempat kotor (pembuangan sampah) dan polusi, seperti di terminal, jalanan atau tempat lainnya yang sejenis.
Bahkan orang-orang yang telah ditokohkan oleh masyarakat tidak lepas dari kebiasaan “membakar diri” ini. Tidak mengherankan bila rokok menjadi sesuatu yang gampang dicari, barangnya maupun penggemarnya. Bahkan kegemaran merokok ini pun terbawa saat menunaikan ibadah haji, sehingga menjadi melekat pada jama’ah haji Indonesia. Karena memang, ada saja jama’ah haji Indonesia yang nekad menyulut rokok di dekat pintu keluar Masjidil Haram. Maka pantas saja, dalam salah satu selebaran yang dibagikan cuma-cuma di sana, memuat pelanggaran-pelanggaran yang kerap dilakukan oleh jama’ah haji Indonesia, di antaranya adalah merokok. Sungguh sangat memprihatinkan sekali.
ALLAH MEMERINTAHKAN KITA AGAR MENGKONSUMSI YANG BAIK-BAIK
Demikianlah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ditujukan kepada para rasul-Nya dan kaum mukminin. Satu perintah yang sudah pasti bersumber dari rahmat dan kasih Allah Subhanhu wa Ta’ala kepada para hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [Al-Mukminun : 51]
Syaikh Abdur-Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, salah satu kandungan ayat diatas menyatakan, bahwa para rasul secara keseluruhan sepakat membolehkan makanan-makanan yang baik-baik dan mengharamkan barang-barang yang buruk.[1]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar hanya kepada Allah kamu menyembah” [Al-Baqarah : 172]
Sebagaimana kita ketahui, makanan yang thayyib (baik) sangat menunjang kesehatan jasmani dan ruhani Begitu pula dari kacamata kesehatan, asupan makanan yang memenuhi gizi seimbang (sehat) sangat penting bagi kesehatan tubuh. Adapun dari segi ruhani, makanan yang thayyib mempunyai andil dalam menata “organ tubuh dalam” bagi manusia, hingga jiwanya pun menjadi baik, tunduk patuh kepada Rabbnya, menyukai kebaikan dan berlomba untuk meraihnya. Jadi ath-thoyyibat (makanan-makanan yang baik), ialah yang diperbolehkan oleh Allah, berupa makanan-makanan yang bermanfaat bagi jasmani, akal dan perilaku. Setiap yang bermanfaat itulah makanan yang thayyib. Adapun makanan-makanan yang berbahaya, itu semua termasuk khabis (buruk) [2].
Sisi ini, benar-benar menjadi sandaran dalam menentukan masalah tahlil (penghalalan) dan tahrim (pengharaman) dalam agama Islam yang hanif. Syaikh Shalih Al-Fauzan menggariskan kaidah dalam masalah ini, yaitu :”Setiap barang yang suci yang tidak mengandung madharat (bahaya) apapun, dari jenis biji-bijian, buah-buahan, (daging) binatang, itu halal. Dan setiap benda yang najis, seperti bangkai, darah atau barang yang tercemar najis, dan setiap yang mengandung madharat, semisal racun dan sesuatu yang serupa dengannya, hukumnya haram” [3]
ORIENTASI UMUM HUKUM-HUKUM ISLAM (MAQASHIDUSY SYARI’AH)
Tidak diragukan lagi, jika syari’at Islam yang lurus, misinya ialah mendatangkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, serta menampik seluruh kejelekan dan menekannya sekecil mungkin. Dalam Islam, ini merupakan prinsip yang penting, Ibnu Taimiyah rahimahullah acap kali menyatakan, bahwa syari’at (Islam) datang untuk menyuguhkan seluruh kemaslahatan dan melengkapinya, dan menghentikan seluruh kerusakan dan memperkecilnya [4]. Sehingga, segala hal yang baik, atau kebaikannya rajihah (dominan), maka syari’at memerintahkannya. Adapun sebuah perkara yang benar-benar jelas keburukannya, atau keburukannya rajihah (lebih kuat), maka syari’at akan melarangnya. [5]
Termasuk kaidah dan prinsip umum di atas, yaitu kaidah yang berbunyi : La dharara wala dhirar (tidak boleh menciptakan bahaya bagi diri sendiri dan membahayakan orang lain), adh-dhararu yuzal (bahaya harus dihilangkan).
BETULKAH ROKOK BARANG YANG BURUK?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, secara jelas dapat kita lihat, dalam setiap kemasan dan tayangan iklan produk rokok, baik di media cetak maupun elektronik, selalu tertera pesan berupa peringatan yang baik, yaitu ; merokok dapat mengakibatkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin. Sehingga tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa rokok memang mengandung banyak bahan kimia yang membahayakan bagi manusia.
Ironisnya , “pesan atau peringatan baik” ini hanya sekedar pesan yang bersifat simbolis semata, bahkan sangat tidak efektif. Keberadaan pesan tersebut sama saja antara ada dan tidak adanya. Padahal telah diakui oleh para ahli, banyak bahaya yang ditimbulkan oleh sebatang rokok.
BAGAIMANA PULA DENGAN SYARIAT ISLAM?
Islam sangat menghormati jiwa. Karena itu, jika dalam kondisi yang benar-benar darurat, kita diharuskan makan meskipun barang tersebut haram. Begitu pula Islam melarang bunuh diri, dan lain sebagainya. Islam juga sangat menghargai akal manusia. Oleh sebab itu, Islam melarang benda-benda yang dapat menghilangkan kesadaran, baik yang hissi (benda padat semacam minuman keras, misalnya) atau bersifat maknawi, semacam judi, musik dan menyaksikan obyek-obyek yang diharamkan. Dan Islam juga benar-benar memperhatikan kesucian dan keselamatan an-nasl (keturunan). Maka, dianjurkan untuk menikah, persaksian dalam pernikahan, perhatian kepada anak-anak, melarang pernikahan dengan wanita pezina, larangan ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan), dan sebagainya. [6]
Coba kita membandingkan nilai-nilai luhur dalam Islam ini, yang masuk dalam bingkai pemeliharaan dharuriyyatul-khams (lima perkara primer) dengan pesan atau peringatan yang melekat dalam setiap kemasan bungkus rokok. Hasinya, sangat bertentangan. Apalagi jika menghitung banyaknya uang yang dibelanjakan untuk membeli rokok, maka semakin jelas kebiasaan merokok sangat berseberangan dengan spirit pemeliharaan harta dalam Islam (hifzul mal).
BAWANG ATAUKAH ROKOK YANG MENYISAKAN BAU LEBIH BUSUK PADA MULUT ORANG?
Menyoal kegunaan bawang, setiap orang sudah mengetahui, hingga kelezatan kebanyakan makanan tidak lepas dari rempah-rempah ini. Akan tetapi harus dimengerti, yakni bagi orang yang mengkonsumsinya dalam keadaan mentah, ia tidak boleh masuk dan menghadiri shalat berjama’ah di masjid, sampai bau menyengat bawang dari mulutnya hilang.
Dari sahabat Ibnu Umar, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada hari penaklukan Khaibar.
“Baragsiapa yang makan dari pohon ini –yaitu bawang putih- janganlah ia mendekati masjid kami”.[7]
Dari Jabir bin Abdillah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Barangsiapa makan bawang putih atau bawang merah, hendaknya ia menjauhi kami (atau berkata), hendaknya ia menjauhi masjid kami dan duduk saja di rumahnya”
Dalam riwayat lain.
“Barangsiapa yang makan dari tanaman yang busuk ini : beliau (juga) pernah mengatakan barangsiapa makan bawang merah, bawang putih dan bawang bakung, hendaknya ia jangan mendekati masjid kami. Sebab malaikat terganggu dengan barang yang manusia terganggu dengannya” [8]
Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman menyimpulkan, dalam hadits-hadits ini terdapat keterangan dibencinya makan bawang merah dan bawang putih ketika akan mendatangi masjid. Hal ini, karena Islam merupakan agama yang peduli dengan perasaan orang lain, menganjurkan bau yang normal dan moral yang baik. Tergolong dalam hukum ini juga, yaitu bawang putih, bawang merah dan jenis bawang bakung, serta setiap makanan yang mengandung bau tidak enak dan jenis lainnya.
Beliau menambahkan : Hukum –dalam masalah ini- di pelataran masjid dan tempat yang berada di dekatnya sama. Karena itu, Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata dalam khutbahnya : “Kemudian kalian, wahai orang-orang yang makan dari dua tanaman ini. Aku tidaklah mengangapnya, kecuali khabits (buruk), (yaitu) bawang merah dan bawang putih ini. Aku pernah melihat Rasulullah, bila beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjumpainya baunya dari seseorang di dalam masjid, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkannya sampai Baqi. Barangsiapa memakannya hendaknya mematikan baunya dengan dimasak (dahulu)” [9]
Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan, setiap orang yang pada dirinya terdapat bau tidak enak, membuat orang lain terganggu, harus dikeluarkan dari masjid, meski harus dengan menyeret tangan dan kakinya, bukan dengan menarik jenggot dan rambutnya. Demikian yang termuat dalam (kitab) Majalis Al-Abrar. [10]
Imam An-Nawawi rahimahullah memasukkan hadits-hadits tersebut di atas dalam judul “Bab larangan bagi orang yang makan bawang putih dan bawang merah, atau bawang bakung dan makanan sejenis yang mempunyai bau tidak sedap dari mendatangi masjid, sampai baunya hilang dan dikeluarkan dari dalam masjid”.
Begitu pulalah yang terjadi dengan orang yang merokok. Kebiasan menghisap rokok telah menyisakan bekas bau busuk. Sehingga keberadaaan orang tersebut di tempat mulia, seperti rumah-rumah Allah dihalangi untuk sementara. Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman menyamakan hukumnya dengan hukum memakan bawang mentah. Disebabkan, terdapat kesamaan pada keduanya. Yaitu bau tidak enak yang menyengat.
Beliau berkata, “Faktor penyebab larangan menghadiri shalat jama’ah (bagi orang yang memakan bawang mentah) adalah bau yang busuk, sebagaimana tertuang pada sebagian hadits, dan terganggunya malaikat oleh apa saja yang mengganggu anak Adam, sperti terkandung dalam beberapa hadits, maka sesungguhnya, hukum rokok pun diikutsertakan dengan bawang merah dan dan bawang putih. Bahkan rokok, baunya lebih menusuk” [11]
Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata : “Hadits ini dan hadits shahih lainnya yang semakna, menujukkan dibencinya (makruh) seorang muslim mendatangi shalat jama’ah, selama bau busuk masih kentara pada dirinya. Baik, karena usai makan bawang merah atau putih, atau makanan yang berbau tajam lainnya. Seperti juga rokok , sampai baunya sirna. Selain rokok mengandung bau yang busuk, hukumnya (juga) diharamkan, (yakni dengan) menilik banyaknya bahaya yang terkandung di dalamnya, dan keburukannya yang sudah diketahui. Rokok masuk dalam konteks firman Allah.
"Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” [Al-A’raf : 157]
Dalam ayat lain.
"Mereka menanyakan kepadamu : “Apakah yang dihalalkan bagi mereka”. Katakanlah : Dihalalkan bagimu yang baik-baik” [Al-Maidah : 4]
Dan sudah diketahui, rokok bukan termasuk barang yang baik. Oleh karenanya, dapat dimengerti kalau rokok termasuk barang haram bagi umat ini” [12]
Kandungan surat Al-A’raf ayat 157 ini sudah cukup untuk menunjukkan kepada orang-orang yang berakal mengenai haramnya rokok. Ayat tersebut hanya membagi makanan dan minuman ke dalam dua jenis saja : tidak ada jenis yang ketiga. Makanan yang baik-baik diperbolehkan, dan makanan yang buruk diharamkan. Sekarang ini, siapakah yang berani mengatakan jika rokok itu baik dengan mempertimbangkan baunya, harta yang habis untuk membelinya, serta bahaya-bahaya fisik ataupun ekonomi yang muncul darinya?” [13]
Dalam Tanbihatun Ala Ba’dhil Akhtha ‘Allati Yaf’alluha Ba’dhul Mushallin. Syaikh Abdullah bin Al-Jibrin berkata : “Terhadap pemakaian sesuatu yang menyebabkan bau busuk lagi dibenci oleh penciuman manusia, seperti rokok, syisyah (merokok dengan cerobong panjang yang dijumpai di wilayah Arab) yang lebih buruk dari bawang merah dan bawang putih, yang menyebabkan para malaikat dan para jama’ah terganggu, maka kewajiban para jama’ah shalat, agar datang (ke masjid) dengan aroma yang enak, jauh dari hal-hal yang buruk”.
Sumber: almanhaj.or.id
__________
Foot Note
[1]. Taisir Karimir Rahman hal. 553 Muassasah Risalah I Th.1423H – 2002M
[2]. Al-Athimah, Dr Shalih Al-Fauzan, Maktabah Al-Ma’arif, Cetakan II, Tahun 1419H – 1999M, halaman 18.
[3]. Al-Athimah, Dr Shalih Al-Fauzan, halaman 28
[4]. Majmu Fatawa (1/265) dinukil dari Maqashidusy Syari’ah Inda Ibnu Taimiyah, Dr Yusuf Ahmad Muhammad Al-Badawi, cetakan I Tahun 1421H – 2000M
[5]. Maqashidusy Syari’ah Inda Ibnu Taimiyah, halaman 287
[6]. Maqashidusy Syari’ah Inda Ibnu Taimiyah, halaman 461-479
[7]. HR Al-Bukhari no. 853, 4215, 4217, 4218, 5521, 5522 dan Muslim no. 561
[8]. HR Muslim no. 564
[9]. HR Muslim no. 567
[10]. Fatwa Fi Hukmid Dukhan, dinukil dari Al-Qaulul Mubin fi Akhta-il Mushallin, halaman 199
[11]. Al-Qaulul Mubin, Masyhur Hasan Alu Salman, halaman 199
[12]. Fatawa (1/82), dinukil dari Al-Qaulul Mubin, halaman 200
[13]. Akhthar Tuhaddidul Buyut, darul Wathan, Cetakan I Tahun 1411H, halaman 36-37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar