Penyusun: Ummu Asma’
Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar
Pernahkah kita membayangkan akan datangnya suatu masa dimana Islam mulai terpinggirkan, Al-Qur’an dan As-Sunnah mulai ditinggalkan? Ketika kita membuka mata dan melihat ke sekeliling kita, mungkin kita akan menyadari bahwa masa itu telah terbentang di hadapan kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya Islam dimulai dengan keterasingan dan akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah orang-orang yang asing (Al-Ghuraba’).” (Diriwayatkan oleh Muslim 2/175-176 -An-Nawawiy)
Marilah kita tengok sejenak dan perhatikan berapa banyak orang yang menjadikan syari’at ini sebagai bahan perdebatan ataupun bahan olok-olokan? Contoh yang sederhana, masih ada saja di antara umat Islam yang mengolok-olok orang yang melakukan ta’adud (poligami). Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan jelas telah memperbolehkan masalah ini, sebagaimana firman Allah:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa: 3)
Contoh yang lain, di berbagai tempat seperti di kampus, masih banyak orang yang menertawakan muslimah yang mengenakan cadar atau berjilbab besar dengan mengatainya sebagai “ninja” atau “kelelawar”. Terkadang seorang muslim yang komit dengan agamanya pun tak luput dari bahan tertawaan, mereka yang celananya di atas mata kaki seringkali diolok-olok, “Kebanjiran”.
Lihatlah wahai Saudariku, betapa ringannya orang menentang atau mengolok-olok syari’at yang lurus ini. Betapa mudahnya mereka menertawakan sunnah tanpa beban. Semua itu tidak terjadi melainkan disebabkan kebodohan akan agamanya sendiri, atau karena keengganan untuk melakukan syari’at ini. Banyak di antara umat Islam di negeri ini yang masih belum mengetahui bahwa mengolok-olok syari’at ini yaitu sunnah merupakan salah satu pembatal keislaman. Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Al-Washaby rahimahullahu Ta’ala menyebutkan dalam kitabnya Al-Qaul Al-Mufid fii Adillati At-Tauhid, bahwa mengolok-olok sesuatu yang merupakan bagian dari agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengolok-olok pahala dari pengamalan agama atau siksa karena meninggalkan kewajiban agama, merupakan salah satu dari pembatal keislaman.
“Orang-orang munafiq itu takut akan diturunkan terhadap mereka suatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka, ‘Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)’ Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, ’sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ “ (At-Taubah : 64-65)
Dalam menghadapi fenomena tersebut, wajib bagi seorang muslim untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi terhadap sunnah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya:
“Sesungguhnya jika manusia melihat kedzaliman lalu tidak mau mencegahnya, maka segera saja Allah akan menurunkan adzab bagi mereka semua.” (HR. Abu Dawud [no, 4338], at-Tirmidzi [no.2168 dan 3057], Ahmad [no. 1, 16, 29, 53] dan lain-lain)
Adapun meluruskan penyimpangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu melalui lisan, baik merupakan nasihat maupun kritikan, maupun dengan perbuatan yaitu mencegah dengan kekuatan fisik. Syaikh Abdul Malik Ar-Ramadhani rahimahullahu Ta’ala dalam kitabnya Sittu Duror berkata: “Manusia memiliki kemampuan dan peran yang berbeda-beda, sedangkan mengkritik kebatilan itu wajib apapun tingkatan orang itu.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala berkata: “Memerintahkan kepada sunnah dan melarang dari bid’ah adalah merupakan bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar. Dan itu adalah seutama-utama amal shalih.” (Minhajus Sunnah, 5/523)
Dengan demikian, meluruskan penyimpangan terhadap syari’at adalah merupakan pembelaan terhadap sunnah dan merupakan amar ma’ruf nahi munkar yang sangat mulia. Sangat berat terasa untuk tetap berjalan di atas kebenaran, sebagaimana beratnya langkah yang harus dilalui ketika kita menyerukan sebuah kebenaran. Mungkin kita pernah mendengar sebagian umat Islam mengatakan bahwa kita wajib menjaga persatuan umat, sehingga kita harus bertoleransi terhadap kesalahan yang dilakukan oleh saudara kita. Mereka berkata bahwa mengungkapkan kebenaran dan meluruskan kesalahan yang dilakukan oleh saudara kita hanya akan merusak persatuan dan menyebabkan perpecahan. Maka pada masa sekarang ini, banyak firqah atau kelompok dari kaum muslimin yang berdakwah dengan cara merangkul semua golongan yang ada tanpa memperdulikan tentang perbedaan manhaj (metode dalam beragama) bahkan perbedaan aqidah. Padahal persatuan yang benar adalah persatuan di atas aqidah yang bersih dan manhaj beragama yang lurus, yaitu manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat. Persatuan di atas berbagai manhaj beragama dan aqidah bagaikan segelas air susu, yang partikelnya terlihat bersatu, namun ketika dibiarkan dia akan mengendap di dasar gelas. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah-pelah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al-Hasyr: 14)
Sesungguhnya persatuan tidak akan pernah terwujud dengan bergolong-golongan. Dengan bersikap permisif dan lemah lembut atau mendiamkan orang atau kelompok yang melakukan penyimpangan terhadap sunnah dan melakukan bid’ah, bukan berarti menyelamatkan kaum muslimin dari perpecahan. Hal tersebut justru akan mendorong umat Islam ke jurang kehancuran, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Malik Ar-Ramadhani rahimahullahu Ta’ala dalam kitabnya Sittu Duror, dengan membantah orang yang melakukan penyimpangan maka bahaya dari dua sisi dapat ditangkis:
1. Bahaya dari luar, yaitu bahaya yang berasal dari orang-orang kafir yang selalu berusaha menghancurkan Islam dengan cara menyerang sendi-sendi aqidah, akhlaq serta hukum pemerintahan kaum muslimin.
2. Bahaya dari dalam, yaitu bahaya yang berasal dari diri kaum muslimin sendiri yang berwujud dengan banyaknya firqah dan kelompok yang tokoh-tokohnya dengan bebas menyusupkan pemahaman mereka ke dalam hati generasi muda.
Begitu berhati-hatinya salaf dalam menyikapi orang-orang atau kelompok yang menyimpang dari manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Shahabat, sehingga sikap mereka terhadap ahlul bid’ah lebih keras daripada sikap mereka terhadap orang-orang kafir. Hal ini dikarenakan bahaya yang ditimbulkan oleh penyimpangan kelompok dalam Islam jauh lebih besar daripada kejahatan orang-orang kafir. Bukan berarti dengan bersikap keras terhadap ahlul bid’ah berarti kita bersikap loyal terhadap orang-orang kafir. Sesungguhnya benarlah perkataan Syaikh Abdul Malik Ar-Ramadhani bahwa penyimpangan kaum muslimin terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah jendela bagi masuknya orang kafir, sebab orang kafir selalu mencari celah untuk menghancurkan Islam, dan celah itu adalah jauhnya kaum muslimin dari manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka suatu keutamaan untuk meluruskan saudara kita yang terjerumus dalam bid’ah meskipun harus menunjukkan identitasnya, namun menyebutkan identitas hanya dilakukan jika kondisi menuntut untuk itu. Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan dirinya sekaligus menyelamatkan umat dari penyimpangan yang dilakukannya. Maka janganlah kita merasa sesak hati ketika diingatkan dari kesalahan yang kita lakukan. Dan janganlah merasa berat hati serta ragu untuk mengingatkan saudara kita yang melakukan kesalahan. Sesungguhnya, nasehat adalah bentuk kasih sayang terhadap sesama kaum muslimin, dan kritikan dapat menjadi sebab bagi kembalinya seseorang kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Karena setiap kejelekan lahir dari kejelekan, sehingga diam terhadap penyimpangan bagaikan meletakkan bara api di bawah tumpukan jerami yang lambat laun akan membuatnya menjadi arang. Sebagaimana Syaikh Abdul Malik Ar-Ramadhani mengutip perkataan Syaikh Yahya bin Yahya, guru dari Imam Bukhari, bahwa membela dan mempertahankan As-Sunnah adalah lebih mulia dari jihad. Sungguh indah perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala dalam kitab beliau Majmu’ Fataawa (28/53-54): “Seorang mukmin dengan mukmin yang lain bagaikan dua tangan, masing-masing saling mencuci. Kadang-kadang ada suatu kotoran tidak bisa dibersihkan kecuali dengan gosokan yang keras (sedikit kekerasan atau paksaan), namun hasilnya tetap bersih dan indah.”
Sumber: Muslimah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar