Oleh: Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilali
Sesungguhnya tashfiyah (membersihkan) ajaran Islam dari ajaran-ajaran yang bukan bersumber dari Islam, (baik dalam masalah) aqidah, hukum dan akhlak, merupakan sebuah kewajiban. Agar Islam kembali bersinar, jernih, bersih dan murni sebagaimana yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mentarbiyah (mendidik kembali) generasi muslim di atas agama Islam yang bersih ini dengan tarbiyah (pembinaan) keimanan yang dalam pengaruhnya, semua itu merupakan : Manhaj Dakwah Salafiyah yang selamat, dan kelompok yang mendapat pertolongan Allah dalam (mengadakan) perubahan.
Pertama: Mengapa Manhaj Salaf ?
Sudah semestinya setiap muslim (yang menghendaki keselamatan, merindukan kehidupan yang mulia, di dunia dan di akhirat), untuk memahami Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dengan pemahaman sebaik-baik manusia yaitu para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.
Karena sekali-kali tidak akan tergambar oleh pemikiran, adanya sebuah pemahaman, atau suatu manhaj (metode) yang lebih benar dan lebih lurus dari pemahaman Salafus Shalih dan manhaj mereka, karena tidak akan menjadi baik urusan umat ini melainkan dengan cara yang dilakukan oleh umat yang pertama.
Dan dari membaca dalil-dalil dari Kitab, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas akan didapati kewajiban memahami Kitab dan Sunnah dalam naungan pemahaman Salafus Shalih, karena manhaj Salafus Shalih disepakati kebenarannya dalam setiap masa. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan bagi seorang setinggi apapun kedudukannya untuk memahami (agama) dengan pemahaman selain pemahaman Salafus Shalih. Barangsiapa yang membenci manhaj Salafus Shalih dan cenderung kepada perbuatan bid’ah kaum khalaf, (yang terlingkupi dengan bahaya-bahaya dan tidak aman dari pengaruh bid’ah, serta akibatnya yang tidak dapat diingkari yaitu memecah belah kaum muslimin) maka ia adalah manusia yang membangun bangunannya di tepi jurang neraka.
Kepada pembaca kami jelaskan dengan dalil dan bukti.
[1]. Sesungguhnya Salafus Shalih (Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala) meridhai mereka) telah dipersaksikan kebaikannya, berdasar nash (dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah) maupun istinbath (pengambilan hukum).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [At-Taubah: 100]
Pengertian ayat ini : Bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji orang-orang yang mengikuti Khiarul Bariyyah (sebaik-baik manusia). Maka dari sini diketahui bahwa apabila khairul bariyyah mengatakan suatu perkataan kemudian diikuti oleh seseorang, maka orang yang mengikuti itu berhak mendapatkan pujian dan keridhaan. Jika mengikuti “khairul bariyyah” tidak mendapatkan suatu keistimewaan, tentu orang yang mengikuti “khairul bariyah” tidak berhak mendapatkan pujian dan keridhaan. Dan khairul bariyyah adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih mereka itu adalah khairul bariyyah (sebaik-baik manusia).” [Al-Bayyinnah: 7]
[2]. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk menusia menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” [Ali Imran: 110]
Pengertian ayat ini : Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan keutamaan para sahabat atas seluruh umat, ketetapan itu mengharuskan keistiqomahan mereka dalam segala hal, karena mereka tidak akan menyimpang dari jalan yang lurus. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan persaksian, bahwa mereka menyuruh segala hal yang ma’ruf dan melarang dari segala yang mungkar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Persaksian ini mengharuskan bahwa pemahaman mereka menjadi hujjah bagi orang-orang yang sesudah mereka, hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mewariskan bumi dan apa saja yang ada di atasnya. Kalau tidak demikian halnya, berarti perbuatan mereka dalam menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran tidak benar, maka renungkanlah ...!
Jika ada perkataan : Ayat ini umum tidak khusus pada generasi sahabat saja.
Maka aku (Syaikh Salim Al-Hilali) berkata :
Ayat ini pertama kali ditujukan kepada para sahabat, dan tidak termasuk dalam ayat ini orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, kecuali jika (ayat ini) diqiyaskan atau diterangkan dengan dalil lain, sebagaimana dalil yang pertama.
Dan juga atas dasar keumuman ayat tersebut, (dan inilah yang benar). Sesungguhnya sahabat adalah mereka yang dimaksudkan dalam ayat itu, karena merekalah manusia yang pertama kali menerima ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa perantara, merekalah manusia yang “menyentuh” wahyu.
Merekalah manusia yang lebih utama (untuk ditujukan ayat itu) daripada yang selain mereka. Dimana sifat-sifat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam ayat itu tidak akan tersifatkan secara sempurna kecuali jika diberikan kepada para sahabat. Maka kesesuaian sifat itu bukti bahwa mereka lebih berhak dari selain mereka dalam mendapatkan pujian.
[3]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
“Artinya : Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian masa berikutnya, kemudian masa berikutnya. Kemudian akan datang suatu kaum yang persaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya (mendahului) persaksiannya.” [Hadits Mutawatir sebagaimana dicantumkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “Al-Isabah” 1/12, dan disepakati oleh Suyuthi, Al-Manawi, Al-Kinani]
Apakah kebaikan yang ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat itu dikarenakan warna kulit mereka? Bentuk tubuh mereka? Harta mereka? Tempat tinggal mereka ? atau …?
Tidak diragukan lagi bagi (orang berakal) yang memahami Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih, bahwa semua itu bukanlah yang dimaksudkan dalam hadits diatas, karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits yang lain).
“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk tubuh dan harta kalian, tetapi Allah melihat pada hati dan amal-amal kalian.” [Hadist Riwayat Muslim]
Karena kebaikan dalam Islam ukurannya adalah ketaqwaan hati dan amal shalih, hal ini sesuai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah yang paling bertaqwa diantara kamu.” [Al-Hujurat: 13]
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melihat hati para sahabat (semoga Allah meridhai mereka) maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mendapati hati mereka adalah sebaik-baik hati manusia sesudah hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat hati para hamba, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala dapati hati Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati-hati hamba, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih untuk diriNya, dan mengutusnya (untuk membawa) risalahNya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat hati para hamba sesudah hati Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala dapati hati para sahabat adalah sebaik-baik hati para hamba, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan mereka pembantu-pembantu NabiNya, (dimana) mereka berperang diatas agamaNya.” [Atsar mauquf, isnadnya hasan dikeluarkan oleh Imam Ahmad I/374 dan lainnya]
Para sahabat diberikan pemahaman dan ilmu yang tidak diberikan kepada manusia sesudah mereka, dari Abu Juhaifah ia berkata : “Saya berkata kepada Ali : ‘Apakah ada pada kalian kitab ? Ali berkata : ‘Tidak, (yang ada pada kami) hanyalah Al-Qur’an dan pemahaman yang diberikan kepada seorang muslim, atau keterangan-keterangan yang ada pada lembaran-lembaran ini ….” [Dikeluarkan oleh Imam Bukhari I/204, Fathul Bari]
Dengan demikian kita mendapat keterangan bahwa kebaikan yang terpuji dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas (yaitu hadits : “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku ….), adalah kebaikan pemahaman dan manhaj.
Dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dapat dimengerti) bahwa pemahaman sahabat terhadap kitab dan sunnah adalah hujjah bagi orang-orang sesudah mereka, hingga akhir umat ini.
[4]. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu.” [Al-Baqarah: 143]
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan para sahabat umat pilihan dan adil
Mereka umat yang paling utama, paling adil dalam perkataan dan kehendak-kehendak mereka. Oleh karena itu mereka berhak menjadi saksi atas umat manusia. Dengan sebab ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut mereka, mengangkat penyebutan mereka, memuji dan menerima mereka dengan penerimaan yang baik.
Seorang saksi yang diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah seorang yang bersaksi berdasarkan ilmu dan kejujuran, kemudian ia mengkhabarkan yang benar berdasarkan kepada ilmunya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Kecuali orang yang mengakui yang hak dan mereka yang mengetahuinya.” [Az-Zukhruf: 86]
Maka jika persaksian mereka diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak dapat diragukan lagi bahwa pemahaman mereka dalam agama adalah hujjah bagi manusia sesudah mereka, dan kalau tidak demikian halnya (tentulah) persaksian mereka tidak dapat ditegakkan, sedangkan ayat Al-Qur’an telah menetapkan dalil itu secara mutlak.
Dan umat ini tidak menganggap suatu generasi itu adil secara mutlak, kecuali generasi para sahabat, karena Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari kalangan Salaf Ahlul Hadits telah menganggap adil generasi sahabat secara mutlak dan umum. Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengambil dari mereka riwayat dan ilmu tanpa pengecualian. Berbeda dengan generasi selain para sahabat, Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak menganggap adil (seseorang) kecuali yang telah dibenarkan kepemimpinannya, dan ditetapkan keadilannya. Dan dua sifat tersebut tidak diberikan kepada seseorang kecuali jika ia mengikuti jejak para sahabat Radhiyallahu ‘anhum.
[5]. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku.” [Luqman: 15]
Setiap sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka diberi petunjuk kepada perkataan baik dan amal shalih. Dalilnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Mereka itu yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” [Az-Zumar: 18]
Maka wajib mengikuti sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memahami agama Allah (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Oleh karena itulah Allah mengancam (seseorang yang mengikuti suatu jalan yang bukan jalan para sahabat) dengan neraka jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (sebagaimana tersebut pada point no 6 berikut).
[6]. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
“Artinya : Dan barangsiapa yang menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisa: 115]
Pengertian ayat ini adalah : Bahwa Allah mengancam orang yang mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman, maka hal ini menunjukkan bahwa mengikuti jalan orang-orang yang beriman (para sahabat) dalam memahami syariat ini adalah wajib, dan menyelisihinya adalah kesesatan.
[7]. Dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu
Kita shalat Maghrib bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian kami berkata : Sebaiknya kita duduk hingga shalat Isya’ bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kami duduk, lalu Rasulullah keluar kepada kami, kemudian beliau bersabda : “Kalian masih berada disini?”. Kami berkata : Wahai Rasulullah kami shalat bersamamu, kemudian kami berkata : Sebaiknya kita duduk hingga shalat Isya bersama Engkau. Beliau bersabda : “Kalian baik dan benar”. Berkata Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu ; Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepalanya ke langit (dan beliau sering menatap langit) seraya berkata :
“Artinya : Bintang-bintang adalah penjaga langit maka apabila bintang-bintang lenyap datanglah kiamat, dan aku adalah penjaga bagi sahabat-sahabatku, apabila aku telah tiada datanglah kepada sahabat-sahabatku apa yang diancamkan pada mereka dan sahabat-sahabatku adalah penjaga bagi umatku, maka apabila sahabat-sahabatku lenyap, datanglah kepada umatku apa yang diancamkan kepada mereka.” [HR Muslim]
Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan kedudukan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam umat ini sebagaimana kedudukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sahabatnya, dan sebagaimana kedudukan bintang-bintang (sebagai penjaga) langit.
Dan suatu yang sudah diketahui bahwa penyerupaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits diatas memberikan (pemahaman) tentang wajibnya mengikuti pemahaman para sahabat dalam agama, sebagaimana wajibnya umat kembali kepada Nabinya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang demikian itu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang menerangkan Al-Qur’an, dan sahabat-sahabat beliau menukil keterangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk umat ini.
Demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah berbicara dari hawa nafsunya dan hanyalah yang beliau ucapkan bimbingan dan petunjuk (yang bersumber dari Allah. Sedangkan sahabat-sahabat beliau adalah (manusia-manusia) yang adil, tidaklah berbicara kecuali dengan perkataan yang benar, dan tidaklah beramal kecuali dengan yang haq.
Demikian juga bintang-bintang (di langit) Allah jadikan sebagai alat pelempar syaithan tatkala mencuri pembicaraan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya kami telah menghiasi langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang. Dan telah memeliharanya dari syaithan-syaithan yang durhaka. Syaithan-syaithan itu tidak dapat memperdengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat, dan mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal, akan tetapi barangsiapa (diantara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan) maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.” [Ash-Shaffaat: 6-10]
Dan firmanNya:
“Artinya : Sesungguhnya kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan kami jadikan bintang-bintang itu sebagai alat pelempar syaithan, dan kami sediakan bagi mereka siksa yang menyala-nyala.” [Al-Mulk: 5]
Demikian juga para sahabat, mereka adalah penghias umat ini, dengan pemahaman, ilmu dan amal mereka. Para sahabat adalah alat pengintai (pelempar) bagi penakwilan orang-orang bodoh, dakwah ahlul batil dan penyelewengan orang-orang yang menyimpang.
Demikian pula bintang-bintang adalah petunjuk jalan bagi penduduk bumi dalam kegelapan di darat dan di lautan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan) dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.” [An-Nahl: 16]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikan petunjuk dalam kegelapan darat dan laut.” [Al-An’am: 97]
Demikian juga para sahabat, mereka diikuti agar selamat dari kegelapan syahwat dan subhat. Barangsiapa berpaling dari pemahaman mereka maka ia tersesat jauh dalam kegelapan yang berlapis-lapis, jika ia mengeluarkan tangannya, hampir-hampir tidak melihatnya.
Dan dengan pemahaman sahabat kita menjaga Al-Qur’an dan Sunnah dari bid’ah-bid’ah syaithan-syaithan manusia dan jin, yang mereka menginginkan fitnah dan takwil terhadap Al-Qur’an, untuk merusak makna-makna ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan apa yang Allah kehendaki, dan merusak makna-makna hadits yang sesuai dengan apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kehendaki. Oleh karena itu pemahaman sahabat adalah pemelihara dari kejahatan dan penyebab-penyebabnya. Dan kalau seandainya pemahaman mereka bukan hujjah, tentulah pemahaman orang-orang sesudah mereka sebagai hujjah dan pemelihara bagi sahabat, dan hal ini adalah mustahil.
Dan kalau pengkhususan dan pembatasan ini ditolak (yaitu wajibnya memahami Kitab dan Sunnah yang shahih dengan pemahaman sahabat) tentulah seseorang muslim akan menyimpang dari jalan Allah yang lurus, dan menjadi “binatang buruan” bagi firqoh-firqoh dan golongan-golongan yang menyimpang dari jalan yang lurus, (karena Al-Qur’an dan As-Sunnah menentang pemahaman Mu’tazilah, Murji’ah, Jahmiyah, Syi’ah, Sufi, Khawarij, Bathiniyyah dan lainnya), maka diharuskan adanya pembeda (pengkhususan dan pembatasan).
Jika ada perkataan : Tidak diragukan lagi bahwa pemahaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat adalah manhaj (metode) yang tidak terdapat kebathilan, akan tetapi apa dalil bahwa manhaj Salaf adalah pemahaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat-sahabatnya ?
Aku (Syaikh Salim Al-Hilali) berkata :
Jawabannya dari dua sisi
[1]. Sesungguhnya pemahaman yang disebut di atas (Mu’tazilah, Murji’ah, Jahmiyah, Syi’ah, Sufi, Khawarij, Bathiniyah dan lainnya) adanya pada masa akhir setelah masa kenabian dan Khulafaur Rasyidin, dan tidaklah yang paling awal disandarkan pada yang kemudian, bahkan sebaliknya (yang disandarkan pada yang awal). Maka jelaslah bahwa kelompok yang tidak menempuh dan tidak mengikuti jalan-jalan (Mu’tazilah, Murji’ah, Jahmiyah, Syiah, Sufi Khawarij) adalah kelompok yang tetap di atas dasar/pokok.
[2]. Kita tidak dapati dalam kelompok-kelompok pada umat ini yang sesuai dengan para sahabat kecuali Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan pengikut Salafush Shalih dan ahlul hadits, dan bukan firqoh-firqoh yang lain.
Adapaun Mu’tazilah, maka bagaimana mereka mencocoki para sahabat, padahal pemimpin-pemimpin mereka telah “menusuk” sahabat-sahabat yang mulia, menjatuhkan dan tidak mengakui keadilan mereka, serta menggolongkan para sahabat dalam kesesatan, seperti Washil bin Atha’ (tokoh Mu’tazilah) berkata : Kalau Ali bin Abi Thalib, Thalhah dan Zubeir bin Awwam di atas seikat sayur, tidaklah saya berhukum dengan persaksian mereka” [Lihat Al-Farqu Bainal Firaq, hal. 119-120]
Adapun Syi’ah, mereka menyangka bahwa para sahabat telah murtad sesudah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali 3 orang saja. Dan tidaklah terdapat pada sahabat yang kafir itu uswah (contoh), qudwah (panutan), dan karomah. [Lihat Al-Kafi oleh Al-Kalini hal.115]
Adapun Khawarij, mereka telah keluar dari agama, dan menyendiri dari jama’ah kaum muslimin. Dari hal-hal yang berbahaya yang terdapat pada madzhab mereka, yaitu mereka mengkafirkan Ali dan dua putranya, Ibnu Abbas, Utsman, Thalhah, ‘Aisyah dan Mu’awiyyah. Dan tidaklah diatas perilaku para sahabat seseorang yang menjadikan paras sahabat sebagai sasaran pengkafiran mereka.
Adapun Sufiyah, mereka menghinakan warisan para nabi, dan menjatuhan para sahabat yang telah memindahkan ilmu Al-Qur’an dan Sunnah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat dan mensifati mereka dengan orang-orang mati. Berkata pemuka mereka : Kalian (yang dimaksud adalah kita Ahlus Sunnah wal Jama’ah,-pent) mengambil ilmu melalui orang-orang yang sudah meninggal, dan kita mengambil ilmu kami, (dengan cara) : Telah bercerita hatiku dari Rabbku.”
Adapun Murji’ah, mereka menyangka bahwa iman orang-orang yang munafiq seperti imannya orang-orang yang terdahulu.
Dan secara global, maka kelompok-kelompok ini ingin membatalkan persaksian kita atas Al-Qur’an dan Sunnah dan mencela para sahabat. Maka kelompok-kelompok itulah yang lebih pantas mendapat celaan, oleh karena itu jelaslah bahwa : Pemahaman Salaf adalah Manhaj Firqotun Najiah (kelompok yang selamat) dan Thoifah Manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan) dalam memahami dan mengambil ilmu serta dalil.
[Majalah Al-Ashalah edisi I hal. 17]
[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah, Edisi 02 Dzulqo’dah 1423H/ Januari 2003. Diterbitkan oleh Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya. Jl Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]
Sumber: almanhaj.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar