إبن إسـمـاعيـل المــهـاجـريـن

Foto saya
Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.

Kamis, 12 Maret 2009

Kembali Kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah

Kita hidup disuatu negeri yang kehidupan keagamaannya, beragam. Yang dimaksudkan adalah kehidupan keagamaan al-Islam. Dipenuhi berbagai macam sekte atau golongan atau firqah, semuanya ada di negeri ini.
Mau mencari yang mengingkari hadits atau sunnah, ada.
Mau mencari yang beragama tanpa shalat pun ada. Dan seterusnya.
Sehingga sebagian kaum muslimin bingung...
Yang mana, yang harus saya pegang...?!
Yang mana, yang harus saya ikuti...?!
Yang pada hakikatnya, bila kita timbang dengan timbangan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka kita akan menemukan jawabannya.

Bahwa hakikat Islam adalah:
Islam yang disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Islam yang beliau ‘amalkan.
Islam yang beliau ajarkan kepada para shahabat, kemudian diamalkan dan dida’wahkan oleh para shahabat. Inilah Islam...!!
Yang Allah Tabaaraka wa Ta’aala Firmankan:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam”. (QS. Ali-'Imran: 19).

Maka, bila kita ingin beragama dengan benar, sesuai dengan syari’at Rabbul ‘alamin. Sebagaimana Islam yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul, yang diakhiri dengan kenabian dan kerasulan Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Maka, kita harus berpegang dengan al-Qur’an dan perjalanan beliau dalam mengamalkan dan menda’wahkan Islam atau yang kita kenal dengan nama as-Sunnah.
Yang kemudian keduanya ini (al-Qur’an dan as-Sunnah) di da’wahkan oleh para Shahabat sebagai penyambung lidah beliau, sebagaimana perintah beliau dalam sabdanya:

حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي كَبْشَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Sampaikan dariku meskipun sejumlah saja.”[1]

Perintah ini pertama kali beliau tujukan kepada para Shahabat, maka para shahabatlah orang yang pertama kali berda’wah kepada manusia tentang Islam, mereka orang yang pertama kali mengamalkan al-Islam.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ ابْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ ذُكِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ قَالَ مُحَمَّدٌ وَأَحْسِبُهُ قَالَ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا أَلَا لِيُبَلِّغ الشَّاهِدُ مِنْكُمْ الْغَائِبَ وَكَانَ مُحَمَّدٌ يَقُولُ صَدَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ ذَلِكَ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ مَرَّتَيْنِ.

Dari Abu Bakrah berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hendaklah orang yang hadir diantara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir.”[2]

Inilah yang kita kenal dengan “ad-Da’wah”, mengajak manusia ke jalan Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Sebagaimana yang Allah perintahkan kepada Nabi-Nya dan Rasul-Nya Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf: 108).

al-Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan makna بَصِيرَةٍ dengan ilmu, burhaanun syar’iyun,aqliyun. Yaitu dalil, hujjah atau keterangan, baik secara syar’iyah maupun secara aqliyah.
Berarti bila kita pengikut Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam, beriman dan mencintai beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam, maka pengamalan dan da’wah kita harus sesuai dengan pengamalan dan da’wah beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Maka Islam mendasari segala sesuatu dengan ilmu, ilmu yang dimaksud adalah apa yang Allah Subhaanahu wa Ta’aala Firmankan, apa yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sabdakan dan apa yang dida’wahkan oleh para Shahabat Radhiyallahu ‘anhum. Inilah yang kita kenal dengan “al-Manhaj”, (cara atau sikap beragama yang benar) yang kita ambil dari orang-orang terdahulu, generasi terbaik dari ummat ini yang masuk dalam firman Allah. Bahkan kepada mereka pertama kali Allah Subhaaanahu wa Ta’aala tujukan:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 110).

Para shahabat adalah generasi terbaik dari ummat ini. Dimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam pernah bersabda dalam sebuah hadits Mutawatir yang dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan lain-lain.

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ عَنْ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَبِيدَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ مِنْ بَعْدِهِمْ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَتُهُمْ أَيْمَانَهُمْ وَأَيْمَانُهُمْ شَهَادَتَهُمْ

Dari ‘Abdullah bin mas’ud, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah pada masaku (yaitu masa para Shahabat), kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya. Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang diantara mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.”[3]

Maka kita mengambil agama dari mereka, bagaimana cara mereka beragama, bagaimana cara mereka mengamalkan al-Islam, bagaimana cara mereka menda’wahkan Islam.
Sungguh banyak nasihat yang telah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam sampaikan kepada ummatnya, baik yang berkaitan dengan masalah duniawi maupun masalah ukhrawi mereka. Di antara nasihat-nasihat yang paling berkesan dihati para shahabatnya adalah nasihat yang beliau sampaikan menjelang wafatnya, sebagaimana dikisahkan oleh salah seorang shahabat yang bernama al-‘Irbadh bin Sariyah.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَشِيرِ بْنِ ذَكْوَانَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَبِي الْمُطَاعِ قَالَ سَمِعْتُ الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ يَقُولُ قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَعَظْتَنَا مَوْعِظَةَ مُوَدِّعٍ فَاعْهَدْ إِلَيْنَا بِعَهْدٍ فَقَالَ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلَافًا شَدِيدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Dari al-‘Irbadh bin Sariyah dia berkata bahwa (pada suatu hari) Rasulullah memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang sangat berkesan sehingga hati kami bergetar dan airmata kami bercucuran. Maka kamipun menyapanya: “Wahai Rasulullah, sepertinya ini pesan perpisahan. Untuk itu, berilah kami wasiat." Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu taat dan mendengar meskipun yang memimpin kalian seorang budak hitam (Habsyi). Karena sesungguhnya, siapa yang masih hidup (sepeninggalku) niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham. Jauhilah pula oleh kalian perkara-perkara baru (bid’ah) karena setiap bid’ah itu sesat.”[4]

Sungguh, sebuah wasiat yang begitu berharga, bukan saja bagi para shahabatnya namun juga bagi seluruh ummat Muhammmad Shalallahu ‘alaihi Wasallam sepeninggal beliau hingga akhir zaman nanti.

Dan apabila kita cermati, wasiat ini mengandung beberapa hal penting, di antaranya:

1. Wasiat taqwa selalu tepat di sampaikan pada setiap tempat dan kesempatan sebelum wasiat-wasiat lain karena ia merupakan kunci kebaikan dunia dan akhirat.

2. Mendengar dan taat kepada pemimpin kaum Muslimin yang sah, siapa pun dia, hukumnya wajib selama pemimpin tersebut tidak menyuruh bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.

3. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam mengabarkan kepada ummatnya peristiwa yang akan terjadi kelak sepeninggal beliau Shalallahu ‘alaihi Wasallam, berupa perselisihan pendapat yang banyak antar ummat Islam, menunjukkan kasih sayang beliau yang begitu besar, beliau tidak rela melihat ummatnya berpecah belah tanpa memberikan solusi yang tepat, benar, aman dan apa yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam beritahukan itu benar-benar terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wasallam adalah benar-benar seorang Nabi, yang tidaklah beliau berbicara melainkan berdasarkan wahyu dari Yang Maha Mengetahui yang ghaib, yaitu Allah Ta’aala.

4. Berdasarkan hadits di atas, sikap yang benar pada saat ummat Islam berselisih pendapat dan berpecah belah adalah dengan mengembalikan masalah yang diperselisihkan kepada sunnah Rasulullah dan Shahabatnya, serta menjauhkan diri dari hal baru yang tidak ada landasannya dari as-Sunnah. Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk didalamnya berpegang teguh kepada keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan, dan perbuatan-perbuatan Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam dan para Khulafa-ur Rasyidin. Itulah Sunnah yang paripurna. Oleh karena itu generasi Salaf dahulu tidak menamakan Sunnah, kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari al-Hasan, al-Auza’i, dan Fudhail bin ‘Iyadh.[5]

5. Berdasarkan wasiat Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam tersebut, as-Sunnah memiliki keistimewaan hukum di bandingkan dengan al-Qur’an. Pada saat ummat berselisih, as-Sunnahlah yang seharusnya menjadi penengah dikarenakan ia mengandung hukum yang lebih terperinci dari pada al-Qur’an yang masih global. Disamping itu, as-Sunnah juga berfungsi menjelaskan hukum-hukum al-Qur’an yang masih umum dan mutlak.

6. Setiap perkara baru yang menyelisihi as-Sunnah (bid’ah) adalah kesesatan semata dan berpotensi menyesatkan siapa saja yang menganutnya. Dan As-Sunnah tetap relevan untuk setiap zaman.[6]

Wallahu a'lam bish showwab.
Al-Fakir ila Rabbil 'alamin, Ibnu Isma'il Al-Muhajirin
__________
Foot note:
[1] Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari (no. 3202).
[2] Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari (no. 102), Muslim (no. 3179).
[3] Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari (no. 2652, 3651, 6429, 6658) dan Muslim (no. 2533, 212), an-Nasa’i dalam as-Sunanul Kubra (no. 5988), at-Tirmidzi (no. 3859), Ibnu Majah (no. 2362), Ahmad (I/378,417,434, 438, 442), Ibnu Hibban (no. 7178, 7183, 7184 –at-Ta’liiqaatul Hisaan) dan lainnya dari Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini mutawatir sebagaimana telah ditegaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Ishaabah (I/12), as-Suyuthi dalam Qathful Azhaar al-Mutanaatsirah fil Akhbaaril Mutawaatirah (no. 108), dan al-Munawi dalam Faidhul Qadir (III/638).
[4] Hadits Shahih, riwayat Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimy (I/44), al-Baghawy dalam kitabnya Syarhus Sunnah (I/205) al-Hakim (I/95), Di shahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 2455)
[5] Lihat Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/120).
[6] Lihat Muqaddimah Washiyah Muwaddi’ oleh Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar