إبن إسـمـاعيـل المــهـاجـريـن

Foto saya
Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.

Sabtu, 31 Januari 2009

Risalah Nikah (4)

Islam telah menjelaskan bahwa kehidupan suami istri semata-mata untuk menegakkan pilar-pilar rumah tangga dan saling bekerjasama yang baik untuk menciptakan suasana yang kondusif dan damai sehingga kedua mempelai mampu meraih semua harapan dan keinginan. Rumah tangga bukan sebuah perusahaan yang masing-masing hanya bertujuan untuk mengejar keuntungan pribadi yang tidak peduli akan kerugian pihak lain, bahkan pernikahan merupakan suatu perjanjian dan sumpah setia antara suami dan istri yang sama-sama mempunyai tugas mulia yaitu kerjasama yang baik dalam rangka merealisasikan kehidupan bahagia bersama.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya." (QS. Al-A’raaf: 189).

Bahaya Nyanyian dan Musik

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafidzahullaah mengatakan, “Agama Islam tidaklah mengharamkan sesuatu melainkan karena disitu ada bahayanya.” Bahaya nyanyian dan musik ada banyak sekali, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah menyebutkannya sebagai berikut:

1. Musik adalah khamr bagi jiwa yang bereaksi terhadap jiwa melebihi reaksi yang ada pada arak. Bila jiwa sudah terhanyut dengan suara nyayian yang dapat membuatnya menghalalkan syirik serta condong kepada kejahatan dan kedzaliman, maka mereka pun berbuat syirik, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, dan berzina. Tiga bahaya ini banyak sekali terjadi pada orang yang senang mendengarkan musik.

Ushulus Sittah

Di antara perkara yang sangat menakjubkan dan sekaligus sebagai tanda yang sangat besar atas kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah enam landasan yang telah Allah Ta’ala terangkan dengan sangat gambling sehingga mudah dipahami oleh orang-orang awam sekalipun. Namun seiring dengan berlalunya waktu, telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukan oleh orang-orang yang cerdas dan berakal dari kalangan Bani Adam dan sedikit sekali yang selamat dari mereka.

Pengertian Islam Dan Tingkatannya

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

A. Pengertian Islam
Islam secara etimologi (bahasa) berarti tunduk, patuh, atau berserah diri. Adapun menurut syari’at (terminologi), apabila dimutlakkan berada pada dua pengertian:

Pertama.
Apabila disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan kata iman, maka pengertian Islam mencakup seluruh agama, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), juga seluruh masalah ‘aqidah, ibadah, keyakinan, perkataan dan perbuatan. Jadi pengertian ini menunjukkan bahwa Islam adalah mengakui dengan lisan, meyakini dengan hati dan berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla atas semua yang telah di-tentukan dan ditakdirkan, sebagaimana firman Allah Subhana wa Ta’ala tentang Nabi Ibrahim ‘Alaihis salam[1]

"(Ingatlah) ketika Rabb-nya berfirman kepadanya (Ibrahim), ‘Berserahdirilah!’ Dia menjawab: ‘Aku berserah diri kepada Rabb seluruh alam.’” [Al-Baqarah: 131]

Agama Islam Adalah Agama Yang Haq (Benar) Yang Dibawa Oleh Nabi Muhammad

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Dengan Islam, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhiri serta menyempurnakan agama-agama lain untuk para hambaNya. Dengan Islam pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan kenikmatanNya dan meridhai Islam sebagai agama. Agama Islam adalah agama yang benar dan satu-satunya agama yang diterima Allah, kepercayaan selain Islam tidak akan diterima Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]

Islam Adalah Agama Yang Mudah

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Islam adalah agama yang mudah dan sesuai dengan fitrah manusia. Islam adalah agama yang tidak sulit. Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan kepada umat manusia dan tidak menghendaki kesusahan kepada mereka. Allah Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai rahmat.

"Artinya : Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [Al-Anbiyaa’: 107]

Syirik Dan Macam-Macamnya

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

DEFINISI SYIRIK

Syirik yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Umumnya menyekutukan dalam Uluhiyyah Allah, yaitu hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, seperti berdo'a kepada selain Allah disamping berdo'a kepada Allah, atau memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo'a dan sebagainya kepada selainNya.

Karena itu, barangsiapa menyembah selain Allah berarti ia meletakkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak, dan itu merupakan kezhaliman yang paling besar.

Rumah Tangga Yang Ideal

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Menurut ajaran Islam, rumah tangga yang ideal adalah rumah tangga yang diliputi sakinah (ketentraman jiwa), mawaddah (rasa cinta) dan rahmah (kasih sayang). Allah Ta’ala berfirman.

"Artinya : Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” [Ar-Ruum : 21]

Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami atau isteri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajiban serta memahami tugas dan fungsinya masing-masing, serta melaksanakan tugasnya itu dengan penuh tanggung jawab, ikhlas serta mengharapkan ganjaran dan ridha dari Allah Ta’ala.

Kesetiaan Istri Kepada Suami

Oleh: Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Teguh dengan kesetiaan yang jujur merupakan sifat wanita yang paling utama.

Sebuah kisah menyebutkan, bahwasanya Asma’ binti 'Umais adalah isteri Ja’far bin Abi Thalib, lalu menjadi isteri Abu Bakar sepeninggalnya, kemudian setelah itu dinikahi oleh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu. Suatu kali kedua puteranya, Muhammad bin Ja’far dan Muhammad bin Abi Bakar saling membanggakan. Masing-masing mengatakan, “Aku lebih baik dibandingkan dirimu, ayahku lebih baik dibandingkan ayahmu.” Mendengar hal itu, ‘Ali berkata, “Putuskan perkara di antara keduanya, wahai Asma’.” Ia mengatakan, “Aku tidak melihat pemuda Arab yang lebih baik dibandingkan Ja’far dan aku tidak melihat pria tua yang lebih baik dibandingkan Abu Bakar.” ‘Ali mengatakan, “Engkau tidak menyisakan untuk kami sedikit pun. Seandainya engkau mengatakan selain yang engkau katakan, niscaya aku murka kepadamu.” Asma’ berkata, “Dari ketiganya, engkaulah yang paling sedikit dari mereka untuk dipilih” [1]

Tasmiyatul Maulud

(Diringkas dari buku Menanti Buah Hati dan Hadiah untuk yang Dinanti, Ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat)

Kita sering mendengar seseorang mengatakan “Apalah arti sebuah nama”. Sebenarnya masalahnya tidak sesederhana itu, nama merupakan tanda pengenal bagi seseorang, selain itu, ia juga bisa menjadi pertanda asal muasal seseorang bahkan agama seseorang. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan masalah pemberian nama ini, kita harus memberi nama-nama yang bagus sebagaimana yang ditutunkan oleh syariat dan kita harus menghindari nama-nama yang jelek yang dapat merendahkan anak serta membuatnya tidak punya jati diri sebagai seorang muslim.

Tulisan ini akan merinci nama-nama yang dicintai maupun yang dibenci Allah dan rasul-Nya, sehingga kita dapat memilihkan nama yang terbaik untuk anak kita dan dijauhkan dari nama-nama yang dibenci.

Kamis, 29 Januari 2009

Risalah Nikah (3)

Syarat-Syarat Nikah

Seorang yang akan menikah haruslah memenuhi beberapa persyaratan nikah yaitu:

Pertama: Adanya kedua mempelai
Seorang laki-laki yang akan menikah, maka dia harus memiliki calon pasangan yang akan dinikahinya. Adapun kriteria wanita yang paling baik untuk dijadikan istri berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radiallahu'anhu:

"Wanita itu biasa dinikahi karena empat perkara: Karena hartanya, karena kemuliaan keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah yang taat beragama, karena jika tidak niscaya kau akan merugi.[1]"
Dan diriwayatkan pula dalam hadits yang lain:

Dari Jabir bin ‘Abdullah radiallahu'anhu, ia berkata: Aku pernah menikahi seorang wanita pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu aku bertemu dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau bertanya (kepadaku): ‘Ya Jabir, apakah engkau telah menikah?’Aku menjawab: ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Dengan perawan atau janda?’ Aku menjawab: ‘Dengan janda.’ Beliau bertanya lagi: ‘Kenapa tidak perawan saja yang engkau dapat bermain dengannya?’ Aku menjelaskan: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai beberapa orang saudara perempuan, maka aku khawatir dia masuk di antaraku dan di antara saudara-saudara perempuanku.[2]Beliau bersabda: ‘Kalau begitu (alasanmu) bagus. Sesungguhnya perempuan itu biasa dinikahi karena agamanya, karena hartanya, karena kecantikannya, Maka hendaklah engkau memilih yang taat beragama, pasti engkau akan beruntung.[3]

Di dalam dua buah hadits yang mulia diatas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita akan adat atau kebiasaan laki-laki menikahi wanita karena salah satu dari empat perkara diatas. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan petunjuk kepada kita untuk memilih yang tertinggi dan termulia yang akan memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat, yaitu pilihlah yang beragama. Yang dimaksud dengan yang beragama ialah wanita yang shalihah sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr radiallahu'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

Dunia ini adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan dunia ialah wanita shalihah.[4]
Hadits ini sebagai tafsir dari apa yang dimaksud dengan sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: Pilihlah yang beragama. Yaitu wanita yang shalihah.

Dari Abu Umamah radiallahu'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Tidak ada perkara yang lebih bagus bagi seorang mukmin setelah bertaqwa kepada Allah daripada istri yang shalihah, bila ia menyuruhnya maka ia menaatinya, bila ia memandangnya membuat hati senang, bila bersumpah maka ia mendukungnya, dan bila ia pergi maka ia dengan tulus menjaga diri dan hartanya. (HR. Ibnu Majah)

Tetapi hal ini tidak berarti bahwa laki-laki tidak boleh memilih wanita yang cantik dan seterusnya sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Hurairah radiallahu'anhu. Maksud hadits ini adalah apabila seorang laki-laki memilih wanita yang cantik parasnya, kemudian dia harus melihat pula apakah wanita pilihannya itu adalah wanita yang shalihah? Kalau jawabannya ‘Ya’, maka akhlaqnya secantik wajahnya, dan dia boleh melanjutkan pilihannya. Akan tetapi kalau jawabannya ‘Tidak’, maka dia dihadapkan kepada dua pilihan yang salah satunya harus dia tentukan dan tetapkan. Imma dia melanjutkan pilihannya dan mendahulukan kecantikan paras dari keshalihan. Imma dia membatalkan pilihannya, berarti dia telah mendahulukan keshalihan (yakni agama) dari kecantikan.

Di sini Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan pengarahan dan petunjuk serta nasehat yang besar bahwa: Janganlah kau kalahkan agamamu dengan segala macam kecantikan dan harta benda duniawi. Padahal sebaik-baik kesenangan, kemewahan, harta benda dunia adalah wanita shalihah. Maknanya, jika pilihan seorang laki-laki jatuh kepada wanita shalihah, berarti dia telah memiliki harta benda dan kesenangan dunia yang terbaik. Istimewa kalau wanita shalihah pilihan itu seperti yang diinginkan.

Demikian juga untuk para wanita, maka hendaklah dia memilih laki-laki yang shalih yang akan menuntunnya ke jannah dan menjaganya dari api jahannam. Perhatikan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

Dari Sahl bin Sa’ad As Saa’idiy radiallahu'anhu, ia berkata: Ada seorang laki-laki lewat dihadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau bertanya kepada laki-laki yang sedang duduk di sisi beliau: ‘Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?’ Maka laki-laki (yang sedang duduk disisi beliau itu) menjawab: ‘Dia adalah seorang laki-laki dari orang yang paling mulia (yakni karena kekayaannya). (Orang) ini, demi Allah, layak sekali kalau dia meminang (pasti) akan (diterima pinangannya kemudian) dinikahkan, dan kalau dia meminta tolong (pasti) akan ditolong, dan kalau dia berkata (pasti) akan didengar.’Sahl bin Sa’ad As-Saa’idiy radiallahu'anhu berkata: Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diam (tidak menjawab). Kemudian lewat lagi seorang laki-laki (yang lain), maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kembali bertanya kepada laki-laki yang sedang duduk disisi beliau: ‘Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?’Maka laki-laki itu menjawab: ‘Wahai Rasulullah, ini adalah seorang laki-laki dari orang-orang faqir kaum muslimin. (Orang) ini patut kalau dia meminang (pasti) tidak akan dinikahkan, dan kalau dia meminta tolong (pasti) tidak akan ditolong, dan kalau dia berkata (pasti) tidak akan didengar.’
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Orang ini lebih baik sepenuh bumi dari yang seperti orang itu (yakni orang yang sebelumnya).[5]

Kedua: Mahar nikah
Dalam sebuah pernikahan harus ada pemberian harta sebagai mahar pernikahan berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Artinya: Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 4)

“Artinya: Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisaa’: 24)

Dan dalam sebuah hadits disebutkan:

Dari Sahl bin Sa’ad radiallahu'anhu: Bahwasanya telah datang seorang perempuan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku datang untuk memberikan diriku kepadamu.’
Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat kepadanya. Beliau melihat kepadanya ke atas dan ke bawah berulang kali, kemudian beliau menundukkan pandangannya. Maka tatkala perempuan itu melihat bahwasanya beliau tidak memutuskan sesuatu tentang dirinya, ia pun duduk. Maka berdirilah seorang laki-laki dari shahabat beliau, lalu laki-laki itu berkata: ‘Wahai Rasulullah, kalau sekiranya engkau tidak mempunyai hajat kepadanya, maka nikahkanlah aku dengannya.’
Maka beliau bertanya (kepada laki-laki itu): ‘Apakah engkau mempunyai sesuatu (sebagai maharnya)?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Tidak (punya), demi Allah, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda: ‘Pergilah kepada keluargamu, kemudian lihatlah, apakah engkau mempunyai sesuatu!’
Maka laki-laki itu pun pergi kemudian kembali dan berkata: ‘Tidak ada, demi Allah, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: ‘Lihatlah kembali (barangkali engkau mempunyai sesuatu), meskipun (hanya) sebuah cincin besi!
Maka laki-laki itupun pergi kemudian kembali dan berkata: ‘Tidak ada, demi Allah, wahai Rasulullah, walaupun (hanya) cincin besi. Akan tetapi inilah kain saya (hanya inilah yang saya punya).
Sahl berkata: Kain (yang dia punya) tidak ada ridaa’ (selendangnya), maka dia akan memberikan kepada perempuan itu setengah kainnya (sebagai maharnya).
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (kepadanya): ‘Apa yang bisa engkau perbuat dengan kainmu itu? Kalau engkau pakai kain itu, maka perempuan ini tidak bisa memakainya, dan kalau perempuan ini yang memakainya, maka engkau pun tidak bisa memakainya.’
Kemudian laki-laki itu pun duduk sampai lama duduknya, kemudian dia berdiri (akan pergi). Maka ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat laki-laki itu pergi, beliau memerintahkan orang untuk memanggilnya. Maka setelah laki-laki itu datang, beliau bersabda: ‘Apakah yang ada padamu dari (surat-surat) Al-Qur’an? (yakni yang engkau hafal di luar kepala). Dia menjawab: ‘Surat ini dan itu’ Dia menyebutkan beberapa surat. Beliau bersabda: ‘Apakah engkau hafal (surat-surat tersebut). Laki-laki itu menjawab: ‘Ya.’ Beliau bersabda: ‘Pergilah (bawalah perempuan ini), karena sesungguhnya telah aku kawinkan engkau dengan perempuan ini dengan (mahar) apa yang ada padamu (yang engkau hafal) dari Al-Qur’an.[6]

Mahar adalah sepenuhnya hak wanita yang harus dipenuhi oleh calon suami. Mahar tidaklah harus berupa harta atau benda, mahar juga dapat berupa mengajarkan Al-Qur’an kepada calon istri, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits di atas.

Ketiga: Adanya wali bagi perempuan
Seorang perempuan baik gadis maupun janda tidak sah nikahnya melainkan dengan adanya wali. Sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

Dari Abu Musa radiallahu'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Tidak sah nikah kecuali dengan wali.[7]

Dari Abu Hurairah radiallhu'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: “Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan (yakni menjadi wali bagi perempuan), dan perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri (yakni nikah tanpa wali).[8]

Telah sharih(jelas) berdasarkan hadits-hadits diatas bahwa menikah tanpa adanya wali adalah tidak diperbolehkan karena walinya (terutama bapaknya) merupakan orang yang paling mengetahui tentang kemaslahatan si wanita. Tetapi, wali juga tidak boleh menghalang-halangi anaknya untuk menikah dengan laki-laki yang sebanding apalagi jika laki-laki tersebut adalah seorang laki-laki yang shalih.

Namun, apabila seorang wanita sama sekali tidak mempunyai seorang pun wali dari pihak bapaknya – karena wali tidak boleh dari pihak ibu – maka yang bertindak sebagai wali nikahnya adalah Sulthan (penguasa) atau wakilnya seperti Hakim atau Qadhi (Di Indonesia adalah seperti KUA).

Dalam hadits disebutkan:

Dari ‘Aisyah radiallahu'anha: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Siapa saja perempuan yang nikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil, maka nikahnya bathil, maka nikahnya bathil. Maka jika dia (laki-laki yang menikahinya tanpa wali itu) telah berhubungan dengannya, maka dia berhak memperoleh maharnya karena dia telah menghalalkan farjinya. Maka jika mereka berselisih, maka Sulthan adalah sebegai wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.[9]

Keempat: Menikah atas dasar sukarela (suka sama suka)
Salah satu syarat menikah adalah ridhanya calon mempelai. Tidak boleh seorang bapak memaksa putrinya yang masih gadis ataupun yang sudah janda untuk menikah. Tanda persetujuan menikah dari seorang gadis adalah dengan diamnya dan tanda persetujuan dari seorang janda adalah dengan ucapannya. Dalam sebuah hadits disebutkan:

Dari Abi Salamah radiallahu'anhu: Sesungguhnya Abu Hurairah telah menceritakan kepada mereka (para Tabi’in): Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Seorang janda tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai persetujuannya[10], dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan sehinggan diminta izin (persetujuannya).’ Mereka bertanya: ‘Wahai Rasulullah, (anak gadis itu) bagaimanakah izinnya?’ Beliau menjawab: ‘Diamnya (adalah izinnya)[11].

bersambung insya Allahu Ta'ala...

Penyusun: Ummu Sufyan Rahma bintu Muhammad
Muraja'ah: Ibnu Isma'il Al-Muhajirin
___________
Foot note:
[1]SHAHIH. Diriwayatkan oleh Bukhari no: 5090 dan Muslim no: 1466.
[2]Yakni nantinya akan menjadi beban bagiku. Selain aku mengurus saudara-saudara perempuanku yang masih kecil-kecil, aku juga harus mengurus istriku. Oleh karena itu aku menikahi janda agar dapat membantuku dalam mengurus adik-adik perempuanku.
[3]SHAHIH. Diriwayatkan oleh Muslim sesudah hadits Abu Hurairah.
[4]SHAHIH. Diriwayatkan oleh Muslim no: 1467.
[5]SHAHIH. Dikeluarkan oleh Bukhari no: 5091 dan 6447.
[6]SHAHIH. Telah dikeluarkan oleh Bukhari no: 5126 dan Muslim no: 1425.
[7]SHAHIH. Telah dikeluarkan oleh Abu Dawud no: 2085, Tirmidzi no: 1102 dan Ibnu Majah no: 1881.
[8]Shahih Lighairihi. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Majah no: 1882. Hadits ini dishahihkan – yakni lighairihi – oleh Imam Al-Albaniy dalam Irwaa-ul Ghalil no: 1841.
[9]SHAHIH. Dikeluarkan oleh Abu Dawud no: 2083; Tirmidzi no: 1102 dan ini lafazhnya; dan Ibnu Majah no: 1879.
[10]Yakni sampai diminta darinya pernyataannya dan perintahnya dengan tegas mau atau tidak.
[11]SHAHIH. Telah dikeluarkan oleh Bukhari no: 5136, 6968 dan 6970; dan Muslim no: 1419.

Risalah Nikah (2)

Adab Meminang
Apabila seorang laki-laki telah menemukan wanita yang hendak dinikahinya, maka dia harus memperhatikan beberapa hal ketika hendak meminang wanita yang akan dinikahinya.

Ummul Mukminin 'Aisyah binti Abu Bakar

Hari-hari indah bersama kekasih Allah dilalui dengan singkatnya ketabahan menghiasi kesendiriannya guru besar bagi kaumnya pendidikan kekasih Allah telah menempanya.

Dia adalah putri Abu Bakar Ash-Shiddiq , yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka memanggilnya “Humaira”. ‘Aisyah binti Abu Bakar Abdullah bin Abi Khafafah berasal dari keturunan mulia suku Quraisy.

Wahai Anakku... Bertakwalah Kepada Allah!

Anak merupakan amanah yang dititipkan kepada orang tua, mendidik anak dengan kebaikan juga merupakan investasi akhirat bagi orang tuanya. Artikel ini merupakan nasehat yang diambil dari kumpulan nasehat-nasehat dari Syaikh Ahmad Syakir dalam Washaya al-Aba' Lil Abna.

Renungan Buat Sang Istri

Istri dalam suatu rumah tangga memiliki peranan penting, disamping wajib menta`ati suami, sang istri adalah tempat menghilang rasa lelah dan payah suami.
Maka dalam tulisan pendek ini ada beberapa renungan buat sang istri agar rumah tangga itu tetap berbahagia, dan harmonis, silahkan disimak.

Renungan Buat Sang Suami

Suami adalah kepala rumah tangga, dialah nahkoda bahtera yang sedang mengarungi lautan kehidupan keluarga, dialah yang mengatur dan bertanggung jawab atas segala yang terjadi dalam rumah tanggal, khususnya hubungan suami istri.
Tugas berat ini bisa berjalan dengan baik, kalau seandainya adanya keharmonisannya dengan sang istri yang tercinta. Bukan suami saja yang berhak mendapatkan rasa kesenangan dari sang istri, tapi sebaliknya sang istri berhak juga mendapatkan hal itu dari sang suami. Dalam artikel yang singkat ini, ada beberapa poin sebagai renungan sang suami dalam rangka menjalin keharmonisan rumah tangga........

Hadits-Hadits Tentang Kesempurnaan Islam

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Hadits Pertama:
Dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan ilmunya kepada kami.” Berkata Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian” [1]

Hadits Dhaif Dan Maudhu

Oleh: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah

Suatu musibah besar yang menimpa kaum muslimin semenjak masa lalu adalah tersebarnya hadits dhaif (lemah) dan maudhu (palsu) di antara mereka. Saya tidak mengecualikan siapapun di antara mereka sekalipun ulama’-ulama’ mereka, kecuali siapa yang dikehendaki Allah di antara mereka dari kalangan para ulama’ Ahli Hadits dan penelitinya sepert Imam Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Main, Abu Hatim Ar Razi dan selain mereka.

Dan dampak yang timbul dari penyebarannya adalah adanya kerusakan yang besar. (Karena) di antara hadits-hadits dhaif dan maudhu itu, terdapat masalah (yang berkenaan dengan) keyakinan kepada hal-hal ghaib, dan juga masalah-masalah syari’at. Dan pembaca yang mulia akan melihat hadits-hadits tersebut, insya Allah.

Salafiyah Bukan Hizbiyah

Oleh: Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah

Sebagian orang menyangka bahwa Salafiyah adalah kelompok hizbiyah seperti halnya Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Quthubiyah Sururiyah dan Jama’ah Tabligh, dan bahwasanya seorang salafi seperti halnya seorang ikhwani atau tablighi atau quthbi dari segi hukum dan pemahaman.

Mereka menyangka bahwasanya istilah Salafiyah adalah istilah yang baru muncul dalam kurun wajtu yang tidak lama. Ucapan ini sering muncul dari mulut para pentolan “jama’ah-jama’ah kontemporer” di media massa. Ada juga yang mengatakan bahwa pendiri dakwah Salafiyah adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –seakan-akan dakwah ini belum pernah dikenal sebelumnya- sebagaimana dikatakan oleh penulis kitab Mausu’ah Muyassaroh fil Adyan wal Madzahib Muashirah (hal, 273)!

Definisi Al-Firqah An-Najiyah [Ahlus Sunnah Wal Jama'ah]

Oleh: Syaikh Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qathaniy

Firqah (dengan huru fa' dikasrahkan) artinya sekelompok manusia. la disifati dengan an-najiyah, (yang selamat), dan Al-Manshurah, (yang mendapat pertolongan), berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang tegar di atas al-haq, yang tidak akan terkena mudharat dari orang yang enggan menolong atau menentang mereka, sehingga datanglah keputusan Allah sedangkan mereka tetap dalam keadaan begitu."[1]

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama'ah, adalah merupakan pengganti atau nama lain dari kelompok tersebut. Yang dimaksud dengan As-Sunnah adalah Thariqah (cara/jalan ) yang dianut oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka hingga Hari Kiamat.

Tauhid Al-Asma' Wash-Shifat

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam telah tetapkan atas diri-Nya, baik itu dengan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Kita wajib menetapkan Sifat Allah sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur'an dan as-Sunnah dan tidak boleh dita'wil.

Al-Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, al-Auza'iy, al-Laits bin Sa'ad dan Sufyan ats-Tsaury tentang berita yang datang mengenai Sifat-Sifat Allah, mereka semua menjawab:

"Perlakukanlah (ayat-ayat tentang Sifat Allah) sebagaimana datangnya dan janganlah kamu persoalkan (jangan kamu tanya tentang bagaimana sifat itu)."[1]

Tauhid Uluhiyyah

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Artinya, mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila hal itu disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), isthighotsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karena-Nya. Dan tidak boleh ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah.

Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apapun. Bila ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya jatuh kepada Syirkun Akbar (syirik yang besar) dan tidak diampuni dosanya. [Lihat An-Nisaa: 48, 116] [1]

Tauhid Rububiyyah

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah Subhanahu wa Ta’ala baik mencipta, memberi rizki menghidupkan dan mematikan serta bahwasanya Dia adalah Raja, Penguasa dan Yang mengatur segala sesuatu.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

“Artinya : Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” [Al-A’raaf: 54]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Artinya : ...Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabb-mu, kepunyaanNya-lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah, tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.”[ Faathir: 13]

Orang musyrikin juga mengakui tentang sifat Rububiyyah Allah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

Berserah Diri (Taslim), Patuh Dan Taat Hanya Kepada Allah Dan Rasul-Nya, Secara Lahir Dan Bathin

“Berserah Diri (Taslim), Patuh Dan Taat Hanya Kepada Allah Dan Rasul-Nya, Secara Lahir Dan Bathin. Tidak Menolak Sesuatu Dari Al-Qur'an Dan A-Sunnah Yang Shahih, (Baik Menolaknya Itu) Dengan Qiyas (Analogi), Perasaan, Kasyf (Iluminasi Atau Penyingkapan Tabir Rahasia Sesuatu Yang Ghaib), Ucapan Seorang Syaikh, Ataupun Pendapat Imam-Imam Dan Yang Lainnya.”

Imam Muhammad bin Syihab az-Zuhri Rahimahullah (wafat th. 124 H) berkata:

“Allah yang menganugerahkan risalah (mengutus para Rasul), kewajiban Rasul adalah menyampaikan risalah, dan kewajiban kita adalah tunduk dan taat.” [1]

Kewajiban seorang muslim, untuk tunduk dan taslim secara sempurna, serta tunduk kepada perintahnya, menerima berita yang datang dari beliau 'Alaihi sholatu wa sallam dengan penerimaan yang penuh dengan pembenaran, tidak boleh menentang apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan perkataan bathil, hal-hal yang syubhat atau ragu-ragu, dan tidak boleh juga dipertentangkan dengan perkataan seorang pun dari manusia.

Penyerahan diri, tunduk patuh dan taat kepada perintah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah merupakan kewajiban seorang muslim. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak. Taat kepada Rasulullah 'Alaihi sholatu wa sallam berarti taat kepada Allah Azza wa Jalla

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka.” [An-Nisaa’: 80]

Seorang hamba akan selamat dari siksa Allah Subhanahu wa Ta'ala bila ia mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak boleh mengambil kepada selain beliau Shallallahu 'alaihi wa sallm sebagai pemutus hukum dan tidak boleh ridha kepada hukum selain hukum beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam putuskan tidak boleh ditolak dengan pendapat seorang guru, imam, qiyas dan lainnya.

Sesungguhnya seorang muslim tidak akan selamat dunia dan akhirat, sebelum ia berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallm, dan menyerahkan ilmu yang belum jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya. Hal tersebut artinya, berserah diri kepada nash-nash al-Qur-an dan as-Sunnah. Tidak menentangnya dengan pena’wilan yang rusak, syubhat, keragu-raguan dan pendapat orang.

Ada sebuah riwayat, yaitu ketika beberapa Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang duduk-duduk di dekat rumah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallm, tiba-tiba di antara mereka ada yang menyebutkan salah satu dari ayat al-Qur-an, lantas mereka bertengkar sehingga semakin keras suara mereka, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dalam keadaan marah dan merah mukanya, sambil melemparkan debu seraya bersabda:

“Artinya : Tenanglah wahai kaumku! Sesungguhnya cara seperti ini (bertengkar) telah membinasakan umat-umat sebelum kalian, yaitu mereka menyelisihi para Nabi mereka serta mereka ber-pendapat bahwa sebagian isi kitab itu bertentangan sebagian isi kitab yang lain. Ingat! Sesungguhnya al-Qur-an tidak turun untuk mendustakan sebagian dengan sebagian yang lainnya, bahkan ayat-ayat al-Qur-an sebagian membenarkan sebagian yang lainnya. Karena itu apa yang telah kalian ketahui, maka amalkanlah dan apa yang kalian tidak ketahui serahkanlah kepada yang paling alim.” [2].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

“Artinya : Bertengkar dalam masalah al-Qur-an adalah kufur.” [3]

Imam Ath-Thahawi Rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencoba mempelajari ilmu yang terlarang, tidak puas pemahamannya untuk pasrah (kepada al-Qur-an dan as-Sunnah), maka ilmu yang dipelajarinya itu akan menutup jalan baginya dari kemurnian tauhid, kejernihan ilmu pengetahuan dan keimanan yang benar.” [4]

Penjelasan ini bermakna, larangan keras berbicara tentang masalah agama tanpa ilmu.

Orang yang berbicara tanpa ilmu, tidak lain pasti mengikuti hawa nafsunya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” [Al-Israa’: 36]

“Artinya : ...Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zhalim” [Al-Qashash: 50].

“Artinya : Di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat, yang telah ditetapkan terhadap syaitan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengannya, tentu ia akan menyesatkannya, dan memba-wanya ke dalam adzab Neraka.” [Al-Haaj: 3-4]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Artinya : Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurun-kan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui.’” [Al-A’raaf: 33]

Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallmj ditanya tentang anak-anak kaum Musyrikin yang meninggal dunia, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

"Allah-lah Yang Mahatahu apa yang telah mereka kerjakan.” [5]

Dari Abu Umamah al-Baahili Radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallm bersabda: “Tidaklah suatu kaum akan tersesat setelah mendapat hidayah kecuali apabila di kalangan mereka diberi kebiasaan berdebat.” Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan firman Allah

“Artinya : ...Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melain-kan dengan maksud membantah saja...” [Az-Zukhruf: 58] [6]

Dari Aisyah [7] Radhiyallahu 'anha, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallm bersabda:

"Artinya : Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang keras hati lagi suka membantah.” [8]

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang tidak taslim kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka telah berkurang tauhidnya. Dan orang yang berkata dengan ra’yunya (logikanya), hawa nafsunya atau taqlid kepada orang yang mempunyai ra’yu dan mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah, maka berkuranglah tauhidnya menurut kadar keluarnya dia dari ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Sesungguhnya dia telah menjadikan sesembahan selain Allah Azza wa Jalla.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Artinya : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berda-sarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka, siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiar-kannya sesat). Maka, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” [Al-Jaatsiyah: 23] [9]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]

Sumber: almanhaj.or.id
_________
Foot Note
[1].Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Kitabut Tauhid. Lihat kitab Fat-hul Baari (XIII/503).
[2]. HR. Ahmad (II/195, 196), ‘Abdurrazaq dalam al-Mushannaf (no. 20367), Ibnu Majah (no. 85), Bukhari fii Af’alil ‘Ibad (hal. 43), al-Baghawi (no. 121) sanadnya hasan. Dari Shahabat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu 'anhu. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Tahqiiq Musnad Imam Ahmad (no. 6702).
[3]. HR. Ahmad (II/286, 300, 424, 475, 503 dan 528), Abu Dawud no. 4603, dengan sanad yang hasan. Dishahihkan oleh al-Hakim (II/223) dan disetujui oleh adz-Dzahabi, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Lihat juga Syarhus Sunnah lil Imam al-Baghawi (I/261).
[4]. Lihat Syarah ‘Aqiidah Thahawiyyah, takhrij dan ta’liq oleh Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki (hal. 233).
[5]. HR. Al-Bukhari no. 1384 dan Muslim no. 2659, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[6]. HR. At-Tirmidzi (no. 3253), Ibnu Majah (no. 48), Ahmad (V/252, 256), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir dan Hakim (II/447, 448), dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi. Menurut Syaikh al-Albani hadits ini hasan sebagaimana perkataan Imam at-Tirmidzi, lihat Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib no. 141.
[7]. Beliau adalah Ummul Mukminin. Nama lengkapnya ‘Aisyah bintu Abi Bakar ash-Shiddiq, isteri Rasulullah j yang dinikahi di Makkah pada waktu berusia enam tahun. Nabi j hidup bersamanya di Madinah ketika dia berusia sembilan tahun pada tahun kedua Hijriyah dan tidak menikah dengan perawan selainnya. Dia adalah isteri yang paling dicintainya di antara isteri-isteri lainnya. Dia banyak menghafal hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallamj dan wanita yang paling cerdas dan paling ‘alim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal saat ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berusia 18 tahun. ‘Aisyah Radhiyallahu anha meninggal pada tahun 58 H dalam usia 67 tahun. Dimakamkan di Baqi’, Madinah an-Nabawiyah. Lihat al-Ishaabah fii Tamyiiz ash-Shahaabah karya Ibnu Hajar al-Asqalani (IV/359 no. 704, cet. Daarul Fikr).
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 2457), Muslim (no. 2668), at-Tirmidzi (no. 2976), an-Nasa-i (VIII/248) dan Ahmad (VI/55, 62, 205).
[9]. Lihat penjelasannya di dalam kitab Syarah ‘Aqiidah Thahawiyyah, takhrij dan ta’liq oleh Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki (hal. 228-235)

Risalah Nikah (1)

Kenapa Harus Menikah?

Menikah merupakan salah satu sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Setiap insan tentu mendambakan sebuah pernikahan yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Untuk mencapai sebuah pernikahan yang sakinah, mawaddah wa rahmah, maka setiap muslim harus mengetahui tata cara pernikahan itu sendiri mulai dari tujuan pernikahan, hingga masalah-masalah yang umum terjadi dalam sebuah pernikahan.

Pernikahan bertujuan untuk mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan memperoleh keturunan. Setiap muslim dianjurkan untuk menikah sesuai dengan perintah Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

“Artinya: Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian[1](yang belum menikah) di antara kamu, dan orang-orang yang shalih[2]dari hamba-hamba sahaya kamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahaya kamu yang perempuan,. Dan jika mereka miskin, niscaya Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dari sebagian karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(QS. An-Nuur: 32).

Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan pada para wali perempuan untuk tidak menolak lamaran laki-laki shalih seperti perintah beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits berikut:

"Jika ada seorang laki-laki datang kepadamu yang telah kalian ridhai agama dan akhlaqnya maka nikahkanlah dan jika tidak kamu lakukan maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar." (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad hasan).

Menikah bertujuan untuk menjaga kehormatan suami dan istri. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, diriwayatkan dari Abu Hurairah radiallahu'anhu:

"Tiga orang yang sudah pasti mereka akan mendapat pertolongan Allah: 1). Mujahid yang (berperang) di jalan Allah. 2). Seorang budak yang berusaha menebus (membayar) dirinya. 3). Dan seorang laki-laki yang menikah karena hendak menjaga kesopanan dirinya."[3]

Menikah merupakan salah satu sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Menikah juga bertujuan untuk melangsungkan keturunan, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada umatnya untuk memperbanyak keturunannya dari pernikahan tersebut. Ummul Mukminin ‘Aisyah binti Abu Bakar radiallahu'anha berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

"Nikah itu adalah Sunnahku. Barangsiapa yang tidak (mau) mengamalkan Sunnahku, maka ia bukan dari (orang yang mengikuti Sunnah)ku. Nikahlah! Karena sesungguhnya aku akan berbangga (dengan banyaknya) kamu (pada hari kiamat) dihadapan semua umat. Oleh karena itu barangsiapa yang telah mempunyai kemampuan (untuk menikah), maka hendaklah dia menikah, dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia shaum, karena sesungguhnya shaum itu baginya merupakan tameng."[4]

Apabila seorang pemuda telah memiliki kemampuan untuk menikah maka disarankan untuk segera menikah, sedangkan untuk yang belum mampu lebih baik berpuasa. Dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radiallahu'anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah karena sesungguhnya ia mampu menjaga pandangan dan memelihara kemaluan, dan barang siapa tidak mampu, maka berpuasalah karena hal itu adalah obat pengekang baginya."[5]

Hadits di atas merupakan petunjuk dan nasehat yang sangat besar sekaligus sebagai obat mujarab dari sebuah penyakit yang membebani hati, fikiran, dan badan.  Karena menikah ditujukan untuk meredam syahwat khususnya bagi para pemuda, di mana pada diri mereka terkumpul kekuatan syahwat yang sangat besar yang terus menerus memberikan gangguan kepada hati dan fikiran mereka. Oleh karena itu, setiap muslim sangat dianjurkan untuk menikah. Kemampuan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah kemampuan yang telah ada dalam diri para pemuda seperti memberikan mahar (mas kawin), menyediakan tempat tinggal, nafkah, dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

"Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai suatu kewajiban." (QS. An-Nisaa’: 4)

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. An-Nisaa’: 34)

"Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal…" (QS. Ath-Thalaq: 6)

bersambung insya Allahu Ta'ala...

Penyusun: Ummu Sufyan Rahma bintu Muhammad
Muraja'ah: Ibnu Isma'il Al-Muhajirin
___________
Foot note:
[1] Orang-orang yang sendirian adalah terjemahan dari lafazh AL AYAAMA bentuk jama’ AYYIMU. Yang artinya sesuai dengan bahasa Arab adalah: “Laki-laki yang tidak punya istri atau perempuan yang tidak punya suami. Baik laki-laki dan perempuan itu masih bujangan dan gadis. Atau status mereka telah menjadi duda dan janda.” Lihat Tafsir Ibnu Katsir.
[2]Shalihin dalam ayat ini dapat berarti: shalih dalam agamanya. Bisa juga berarti hamba sahaya yang telah layak atau pantas untuk dikawinkan. Lihat Tafsir As-Sa’diy.
[3]Hadits hasan. Telah dikeluarkan oleh Tirmidzi no: 1655; An-Nasaa’i no: 3120 dan 3128; dan Ibnu Majah no. 2518.
[4]Hadits Shahih lighairihi. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Majah no: 1846, dan dinyatakan shahih – yakni lighairihi – oleh Syaikh Albaniy di shahihahnya no: 2383.
[5]SHAHIH. Telah dikeluarkan oleh Bukhari no. 1905, 5065 dan 5066; Muslim no. 1400, dan yang selain keduanya.

Selasa, 27 Januari 2009

Hijab Muslimah (2)

Penyusun: Abu Sa’id Satria Buana (Alumni Ma’had Ilmi)

KEJELEKAN TABARRUJ (BERHIAS)

Pertama, tabarruj adalah maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.

Barang siapa yang maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya maka ia hanya akan mencelakakan dirinya sendiri dan tidak akan mencelakakan Allah sedikit pun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبي ، قالوا : يا رسول الله و من يأبي ؟ قال من أطاعني دخل الجنة ، و من عصاني فقد أبي

“Semua umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan”, para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah siapakah orang yang enggan?” Beliau menjawab, “Siapa yang taat kepadaku maka ia akan masuk surga dan siapa yang maksiat kepadaku maka ia telah enggan (untuk masuk surga).” (HR. Bukhari)

Hijab Muslimah (1)

Penyusun: Abu Sa’id Satria Buana (Alumni Ma’had Ilmi)

Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala, shalawat dan salam atas Nabi dan Rasul terakhir Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarganya sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan baik.

Sesungguhnya seorang wanita muslimah akan menemukan bahwa di dalam hukum islam ada perhatian yang sangat tinggi terhadap dirinya agar dapat menjaga kesuciannya, agar dapat menjadi wanita mulia dan memiliki kedudukan yang tinggi. Dan syarat-syarat yang diwajibkan pada pakaian dan perhiasannya tidak lain adalah untuk mencegah kerusakan yang timbul akibat tabarruj (berhias diri) dan menjaga dirinya dari gangguan orang-orang. Syariat Ini pun bukan untuk mengekang kebebasannya akan tetapi sebagai pelindung baginya agar tidak tergelincir pada lumpur kehinaan atau menjadi sasaran sorotan mata dan pusat perhatian.

Senin, 26 Januari 2009

Mensyukuri Nikmat Islam Yang Telah Allah Subhanahu Wa Ta'ala Karuniakan Kepada Kita

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Allah Azza wa Jalla berfirman.

“Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” [Al-An’aam: 125]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman.

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Rabb-nya (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka celakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” [Az-Zumar: 22]

Keutamaan Tauhid

Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Orang yang bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki banyak keutamaan, antara lain.

[1]. Orang yang bertauhid kepada Allah akan dihapus dosa-dosanya.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah hadits qudsi, dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi berfirman

‘...Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.’”[2]