Sudah menjadi ketetapan yang mapan bahwasanya tidak ada seorangpun yang selamat dari kesalahan. Salah merupakan hal yang wajar terjadi pada manusia. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطاَّئِيْنَ التَّوَّابُوْن
“Setiap anak Adam itu banyak bersalah. Dan sebaik-baik orang yang banyak bersalah adalah orang-orang yang mau bertaubat.”
(HR. At-Tirmidzi no. 2616. Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihul Jami’ no. 4514 mengatakan: “(Hadits ini) hasan.”)
Para ulama mereka juga manusia biasa, bisa salah dan benar. Apabila melihat kesalahan ulama maka nasehatilah dengan baik dan cara yang santun. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
الدين النصيحة قلنا لمن ؟ قال : لله ولرسوله وللأئمة المسلمين و عامتهم
"Agama itu adalah Nasehat," Kami bertanya: "Untuk Siapa?", Beliau bersabda: "Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh kaum muslim.” ( HR. Muslim 55 )
Namun dewasa ini ada segelintir kalangan yang mencari cari kesalahan ulama kemudian dia berhujjah dengan ketergelinciran tersebut dalam melariskan bid’ah dan kesesatannya!! Wahai saudaraku, sikap yang demikian pada hakekatnya adalah celaan dan perendahan kepada ulama, tidaklah orang yang mengerjakannya kecuali dia zindiq !!
Maka sikap yang benar dalam menyikapi ketergelinciran ulama adalah dengan dua asas berikut ini :
1. Tidaklah bersandar dengan kesalahan ulama tersebut dan tidak mengambilnya, karena hal itu jelas menyelisihi syari’at.
2. Bersikap adil terhadap ulama yang salah, tidak merendahkan hingga melecehkan dan membuang seluruh perkataannya, cukuplah kesalahannya kita tinggalkan dan kita ambil kebaikannya yang lain.
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :
"Barangsiapa yang mempunyai ilmu dia akan mengetahui dengan pasti bahwa orang yang mempunyai kemuliaan, mempunyai peran dan pengaruh dalam islam maka hukumnya seperti ahli islam yang lain. Kadangkala dia tergelincir dan bersalah, orang yang semacam ini diberi udzur, bahkan bisa diberi pahala karena ijtihadnya, tidak boleh kesalahannya diikuti, kedudukannya tidak boleh dilecehkan dihadapan manusia."
(I’lamul Muwaqqi'in 3/295)
Menahan diri terhadap perselisihan antar ulama
Manusia dengan tabiatnya akan selalu berselisih, Allahu ta’ala berfirman
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
"Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat." (QS Huud:118)
Demikian pula dengan ulama, perselisihan antar ulama kadang terjadi tidak mustahil. Perselisihan yang sifatnya kepribadian. Kita ingat perselisihan yang terjadi antara Imam Bukhari dan Muhammad bin Yahya adz Dzulhi, Ibnu taimiyyah dan Abu Hayyan, Imam Nasa’i dan gurunya dan lain lain.
Menyikapi perselisihan semacam ini adalah menhan diri, tidak ikut campur dan tidak mengobarkan api permusuhan ditengah tengah kaum muslimin. Jangan sampai kita lupa belajar hanya karena mebicarakan perselisihan mereka. Sebagian ahli ilmu mengatakan: “Celaan terhadap teman sebaya tidak dianggap.“
Semoga Allahu Ta’ala merahmati Imam as Subki tatkala mengatakan:
“Sudah sepantasnya bagimu wahai pencari petunjuk, untuk beradab kepada para imam terdahulu, janganlah kamu menilai perkataan sebagian mereka terhadap sebagian yang lain kecuali telah datang keterangan yang jelas bagimu. Apabila kamu bisa memahaminya atau berprasangka baik, lakukanlah, jika tidak, maka tahanlah dirimu terhadap perselisihan yang terjadi diantara mereka, karena tidaklah kamu diciptakan untuk mengurusi masalah seperti ini. Sibukkan dirimu dengan sesuatu yang bermanfaat dan tinggalkanlah apa yang tidak bermanfaat bagimu.” (Thobaqot asy Syafi’iyyah 2/39)
Ditulis ulang dari Majalah Al Furqon Tahun 6 edisi 9 Robi’uts Tsani 1428 H hal 49–50
Penulis: al Ustadz Abu Abdillah al Atsari
Sumber: Kumpulan Situs Sunnah
Sebagai tambahan :
BalasHapushttp://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/01/menyikapi-kesalahan-ulama-ahlus-sunnah.html
Semoga ada manfaatnya. Baarakallaahu fiikum.