Da’wah harus didahului dengan ilmu, karena siapa yang berda’wah tanpa ilmu maka ia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Oleh karena itu, sebelum berda’wah seorang da’i harus memiliki ilmu yang mapan. Dan tidaklah seseorang itu berkata tanpa didasari oleh ilmu, melainkan dia telah menggunakan ra’yunya dan nafs (perasaan)nya didalam berda’wah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Artinya: ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. al-Israa’: 36)
Ayat diatas menjelaskan bahwa:
1. Dilarang menetapkan sesuatu, baik dengan perkataan atau perbuatan tanpa ilmu.
2. Ilmu harus didahulukan sebelum berkata dan berbuat.
3. Islam mendasari segala sesuatunya dengan ilmu.
Seperti yang telah diketahui, bahwa pada zaman sekarang ini telah banyak bermunculan para khutoba’ dan semakin sedikitnya ahli ilmu. Dan yang paling banyak adalah khutobaa’ yang mengeluarkan fatwa dan jawaban yang sesat dan menyesatkan. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah mengabarkan tentang hal ini:
Artinya: ”Sesungguhnya kamu pada hari ini berada pada zaman dimana banyak sekali ulamanya dan sedikit sekali khutobaa’nya, barang siapa yang meninggalkan sepersepuluh dari apa yang telah ia ketahui (dari urusan agamanya) maka sesungguhnya ia telah mengikuti hawa nafsu. Dan akan datang nanti suatu zaman dimana banyak sekali khutobaa’nya dan sedikit sekali ulamanya, barang siapa yang berpegang dengan sepersepuluh dari apa yang telah ia ketahui (dari urusan agamanya), maka sesungguhnya ia telah selamat.”[1]
Seorang yang berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia telah sesat dan menyesatkan orang lain. Dan apabila seseorang yang tidak memiliki ilmu kemudian memberi fatwa kepada orang lain, maka dia berdosa dan dia juga akan menanggung dosa orang yang diberi fatwa, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam:
Artinya: ”Barangsiapa yang berfatwa (dalam lafadz yang lain: Barang siapa yang diberi fatwa) tanpa ilmu, maka dosanya ditanggung oleh orang yang memberi fatwa kepadanya. Dan barangsiapa yang mengisyaratkan (menunjuki) kepada saudaranya tentang sesuatu urusan, padahal dia tahu bahwa yang lebih baik selain dari yang dia tunjuki, maka sesungguhnya dia telah mengkhianatinya.”[2]
Hadits diatas merupakan peringatan dan ancaman yang sangat keras yang mengeluarkan fatwa padahal dia bukan seorang ahli ilmu atau ahli fatwa. Maka dia akan menanggung dosa sebanyak orang yang mengikuti fatwanya yang salah bahkan sesat dan menyesatkan. Hadits ini juga memberi pelajaran agar seorang muslim meminta fatwa kepada orang-orang yang ahlinya, yaitu para ahli ilmu dan ahli fatwa, bukan orang-orang jahil meskipun mereka sangat terkenal dengan ceramah-ceramahnya.
Allah Ta’ala juga memerintahkan agar orang yang tidak mengetahui bertanya kepada orang yang mengetahui dalam firman-Nya:
Artinya: ”Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS. an-Nahl: 43)
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pun telah memperingatkan kaum muslimin atas munculnya da’i-da’i yang berada di pintu-pintu Neraka dan menyeru kaum muslimin dengan da’wahnya [3]:
Artinya: Dari Hudzaifah bin Yaman, ia berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang kejahatan karena takut kejahatan itu akan menjumpaiku[4], maka aku bertanya: ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada di dalam jahiliyyah dan kejahatan [5], kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kami[6], maka apakah sesudah kebaikan ini akan datang lagi kejahatan?”
Beliau menjawab: ”Ya!”
Maka aku bertanya: ”Apakah sesudah kejahatan itu akan datang lagi kebaikan?”
Beliau menjawab: ”Ya, tetapi di dalamnya telah bercampur dengan kekeruhan.”[7]
Aku bertanya: ”Apakah yang dimaksud dengan kekeruhan itu?”
Beliau menjawab: ”Satu kaum yang beramal bukan dengan Sunnahku dan mengikuti petunjuk bukan dengan petunjukku[8], di antara (amal) mereka ada yang engkau tahu dan ada juga yang engkau ingkari.”[9]
Maka aku bertanya lagi: ”Apakah sesudah kebaikan (yang bercampur dengan kekeruhan itu) akan datang lagi kejahatan?”
Beliau menjawab: ”Ya, yaitu para da’i[10] yang berada di pintu-pintu jahannam[11], barang siapa yang mengijabah da’wah mereka, pasti mereka akan melemparkannya ke dalam jahannam.”[12]
Maka aku bertanya lagi: ”Ya Rasulullah, jelaskan kepada kami sifat mereka?”
Beliau menjawab: ”Baik, mereka adalah satu kaum yang sekulit (sejenis) dengan kita, dan mereka berbicara dengan bahasa kita.”[13]
Aku bertanya lagi: ”Ya Rasulullah, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai keadaan tersebut?”
Beliau menjawab: ”Hendaklah engkau tetap berada di dalam jama’ah kaum muslimin dan imam mereka.”[14]
Lalu aku bertanya lagi: ”Maka kalau mereka tidak mempunyai jama’ah dan tidak juga imam?”
Beliau menjawab: ”Maka tinggalkanlah olehmu firqoh-firqoh itu semuanya meskipun engkau menggigit akar pohon sampai kematian datang menjemputmu dan keadaanmu seperti itu.”[15]
Syaikh Salim bin ’Ied al-Hilali mensyarah hadits diatas, sebagai berikut:[16]
1. Mengenal jalan orang-orang yang tersesat merupakan kewajiban dalam syariat.
Sesungguhnya metode ar-Rabbani (Islam) yang tertuang dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menampilkan generasi pertama yaitu Shahabat dan para tabi’in sesungguhnya bertujuan untuk menjelaskan jalan kebenaran dan agar diikuti.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Artinya: ”Barangsiapa yang menyelisihi Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman maka kami palingkan dia kemana dia berpaling dan kami akan memasukkannya kedalam neraka jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 116)
Akan tetapi, metode Islam ini tidak cukup hanya menjelaskan jalan kebenaran saja bahkan menyingkap kebathilan dan mengungkap kepalsuannya agar jelas dan terang jalan orang-orang yang tersesat (lalu dijauhi dan ditinggalkan,-pent).
Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: ”Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat Al-Qur’an, supaya jelas jalan orang-orang yang benar dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang tersesat.” (QS. al-An’aam: 55)
Seorang penyair berkata:
“Aku mengenal keburukan bukan untuk keburukan akan tetapi untuk menjauhinya.”
“Dan barangsiapa yang tidak mengenal kebaikan dari keburukan dia akan terjerumus kedalam keburukan itu.”
2. Islam terancam dari dalam
Sesungguhnya musuh-musuh Allah terus mengintai Islam hingga ketika mereka telah melihat penyakit whan (cinta dunia dan takut mati) telah menjalar dalam tubuh kaum muslimin dan penyakit-penyakit yang lain sudah menyebar mereka langsung menyerang dan menyumbat nafas kaum muslimin.
Sesungguhnya racun-racun berbisa yang membinasakan dan menghancurkan kekuatan kaum muslimin serta melemahkan gerak mereka bukanlah pedang-pedang orang-orang kafir yang berkumpul untuk membuat makar terhadap Islam. Akan tetapi kuman-kuman yang busuk yang menyelinap didalam tubuh kaum muslimin yang lambat tapi pasti (itulah yang menyebabkan kebinasaan). Itulah asap yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Hudzaifah diatas: “Suatu kaum yang membuat Sunnah bukan dari Sunnahku dan memberikan petunjuk bukan dari petunjukku...” Didalam ucapan beliau ini ada hal-hal penting diantaranya:
[1]. Sesungguhnya asap itu merupakan penyimpangan yang selalu membuat kabur ajaran Islam (Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang terang benderang malamnya bagaikan siangnya.
[2]. Yang nampak pada saat terjadinya hal ini adalah kebaikan akan tetapi dalamnya terdapat hal-hal yang membinasakan. Bukanlah dalam riwayat Muslim Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan muncul manusia-manusia yang berhati setan.”
[3]. Asap ini terus tumbuh dan menguasai hingga kejelekan itu merajalela serta merupakan awal munculnya da’i-da’i penyesat dan kelompok-kelompok sempalan.
[4]. Sesungguhnya yang meniup asap tersebut adalah para da’i-da’i penyesat. Dan ini menunjukkan bahwa rencana busuk untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin telah mengakar kuat dalam sejarah Islam.
[5]. Sesungguhnya gembong-gembong kesesatan selain giat dalam menyesatkan. Akan tetapi sebagian pemegang kebenaran lalai dan tertidur hingga asap tersebut menguasai dan merajalela serta menutupi kebenaran. Dari sini dapat diketahui bahwa asap yang menyelimuti kebenaran dan mengkotori kejernihannya adalah bid’ah-bid’ah yang ditebarkan oleh Mu’tazilah, Sufiyah, Jahmiyah, Khawarij, Asy’ariyah, Murji’ah dan Syi’ah Rafidhah sejak berabad-abad lamanya.
Oleh karena inilah umat Islam menjadi terbelakang dan menjadi santapan bagi setiap musuh serta menyebarnya kebathilan. Dan dengan sebab inilah setiap munafik berbicara dengan mengatas namakan Islam. Dari sini kita mengetahui bahwa bahaya bid’ah lebih besar daripada musuh-musuh yang lainnya (orang-orang kafir), karena bid’ah merusak hati dan badan tapi musuh-musuh tersebut hanya merusak badan. Para salaf telah bersepakat akan kewajiban memerangi ahli bid’ah dan menghajr (memboikot) mereka. Imam adz-Dzahabi mengatakan : “Para salaf sering mentahdzir ahli bid’ah, mereka mengatakan: Sesungguhnya hati-hati ini lemah sedangkan syubhat (dari ahli bid’ah itu) cepat mencengkram.”
3. Hati-Hati antek-antek yahudi!!!
Sesungguhnya para gembong-gembong kekafiran telah memproduksi antek-anteknya dalam negeri kaum muslimin dua cara, yaitu:
[1]. Pengiriman para pelajar ke negeri kafir (seperti di Chicago University,-pent) yang disanalah para pelajar kaum muslimin di cuci otak-otak mereka lalu jika mereka pulang mereka sebarkan racun-racun itu kepada kaum muslimin.
[2]. Dengan menyelinapnya para orientalis dibawah simbol-simbol penelitian ilmiah. Sesunggunya para orientalis-orientalis itu merupakan antek-antek/tangan-tangan Yahudi dan Nashrani.
Di dalam hadits Hudzaifah ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ciri mereka, beliau bersabda:
“Akan muncul da’i-da’i yang menyeru ke Neraka jahannam, barangsiapa yang menerima seruan mereka maka mereka akan menjerumuskannya ke dalam jahannam”. Hudzaifah bertanya: “Wahai Rasululah sebutkan ciri mereka?” Rasulullah menjawab : “Mereka dari golongan kita dan berbicara dengan lisan-lisan kita.”
[a]. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Baari 13/36: “Yaitu dari kaum kita dan yang berbicara dengan bahasa kita serta dari agama kita. Didalamnya ada isyarat bahwa mereka itu dari Arab.”
[b]. Ad-Dawudi berkata: “Mereka itu dari keturunan Adam.”
[c]. Al-Qoobisy berkata: ”Maknanya, secara dzahir mereka itu dari agama kita tapi secara batin mereka menyelisihi (agama kita).”
Mereka menampakkan kesungguhan dalam memberi solusi, dan maslahat bagi ummat. Tapi mereka menipu ummat dengan gaya bahasa mereka, dan hati-hati mereka menginginkan untuk menjalankan misi-misi tuan-tuan mereka dari kalangan Kristen dan Yahudi. Allah berfirman:
Artinya: ”Tidak akan ridho orang-orang Yahudi dan Narani hingga kalian mengikuti agama mereka.” (QS. al-Baqarah: 120)
4. Siapa jama’ah kaum muslimin?
Setelah melihat kenyataan yang pahit dan getir ini, mulailah sebagian kaum muslimin bangkit, setiap kelompok dari kaum muslimin melihat realita ini dari kaca mata tersendiri, kelompok yang lain juga demikian. Oleh karena itulah bisa dikatakan bahwa kelompok-kelompok yang ada sekarang ini yang katanya berjuang atau berda’wah, mereka itu saling berselisih dalam metode dan cara berda’wah. Dan perselisihan yang paling parah yang menghalangi persatuan mereka adalah dua hal:
[1]. Perselisihan mereka dalam pengambilan sumber ilmu dan pemahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah.
[2]. Ketidakmengertian mereka tentang diri mereka sendiri, sehingga pada saat ini kita sering menyaksikan bahwa hizbiyyah dan fanatik golongan ini masih menyumbat akal pikiran para da’i-da’i yang turun di medan da’wah. Mereka membanggakan diri mereka sendiri dan meremehkan yang lainnya. Sebagiannya menganggap bahwa kelompoknya itulah yang dinamakan jama’ah kaum muslimin dan pendirinya adalah imam kaum muslimin yang wajib di bai’at atau disumpah setia. Dan sebagiannya lagi mengkafirkan kaum muslimin. Sebenarnya mereka hanya jama’ah atau kelompok-kelompok kaum muslimin, karena kaum muslimin sekarang tidak memiliki jama’ah ataupun imam/pemimpin.
Sesungguhnya jama’ah kaum muslimin adalah (Negara Islam) yang bersatu atau berkumpul didalamnya seluruh kaum muslimin. Mereka hanya punya satu imam/pemimpin yang menerapkan hukum-hukum Allah dan wajib untuk di taati serta diba’iat.
5. Tinggalkan kelompok-kelompok sempalan
Hadits Hudzaifah diatas memerintahkan kepada kita untuk meninggalkan semua kelompok-kelompok sesat ketika terjadi fitnah dan kejelekan serta disaat tidak ada jama’ah kaum muslimin dan imam mereka.
Kelompok-kelompok sempalan ini yang menyeru manusia kepada kesesatan, bersatu diatas kemungkaran dan diatas hawa nafsu atau berkumpul diatas pemikiran-pemikiran kufur seperti sosialisme, komunisme, kapitalisme, demokrasi atau bersatu berdasarkan fanatik golongan dan lain sebagainya.
Inilah kelompok-kelompok sesat yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Hudzaifah untuk ditinggalkan dan dijauhi karena menjerumuskan manusia ke dalam neraka jahanam dengan sebab ajaran mereka yang bukan dari Islam.
Adapun kelompok yang menyeru kepada Islam yang benar, memerintahkan kepada yang baik dan melarang dari yang munkar maka inilah yang diperintahkan oleh Allah untuk diikuti dan ditolong. Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: ”Hendaklah ada diantara kalian sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan dan menyeru kepada yang baik dan melarang dari yang munkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali-’Imran: 104)
6. Jalan keluar dari problematika ummat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Hudzaifah untuk meninggalkan semua kelompok sempalan yang menyeru ke neraka jahannam meskipun sampai menggigit akar pohon hingga ajal menjemput. Adapun penjelasannya, maka sebagai berikut:
[1]. Ini adalah perintah untuk berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah serta pemahaman Salafush Shalih. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu:
Artinya: ”Dan barangsiapa yang hidup diantara kalian maka dia akan melihat perselisihan yang banyak sekali, maka berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru dalam agama karena itu kesesatan. Dan barangsiapa diantara kalian yang mendapatkan hal ini maka wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafa ‘ar-rasyidin, gigitlah erat-erat dengan gigi geraham kalian.”[17]
Didalam hadits Hudzaifah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menggigit akar pohon ketika terjadi perpecahan sambil menjauhi semua kelompok sesat. Dan didalam hadits al-Irbadh beliau memerintahkan untuk berpegang teguh dengan Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih radhiyallahu anhum, ketika munculnya kelompok-kelompok sesat dan ketika tidak adanya jama’ah kaum muslimin serta imam mereka.
[2]. Sesungguhnya perintah untuk menggigit akar pohon dalam hadits Hudzaifah maknanya adalah istiqomah atau tetap dalam sabar dalam memegang kebenaran dan dalam meninggalkan semua kelompok sesat yang menyelisihi kebenaran. Atau maknanya bahwa pohon Islam akan diguncang dengan angin kencang hingga merontokkan semua ranting dan cabangnya, tidak ada yang tersisa melainkan akarnya yang masih tegar. Karena itulah wajib bagi setiap muslim untuk memegang erat akar tersebut dan mengorbankan semua yang berharga dalam dirinya karena akar tersebut akan tumbuh dan tegar kembali.
[3]. Ketika itu juga wajib bagi setiap muslim untuk menolong dan membantu kelompok (yang berpegang teguh dengan sunnah tersebut, -pent) dari setiap fitnah yang mengancam. Karena kelompok ini yang selalu tampak diatas kebenaran hingga akhirnya mereka membunuh Dajjal.
Al-Fakir ila Rabbil 'alamin, Ibnu Isma'il Al-Muhajirin
______________
Catatan kaki:
[1] Riwayat Ahmad dalam Musnadnya (5/155) dan al-Harawiy di kitabnya Dzammul Kalaam (1/14-15 dan ini lafadznya) dari jalan Abu Dzar. Lihat pula Silsilah ash-Shahiihah karya Syaikh al-Albani (no 2510).
[2] Dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 3657 dan ini lafadznya), Ibnu Majah (no. 53), Ahmad (2/321), ad-Daarimiy (1/57) dan Hakim (1/126), semuanya dari beberapa jalan yaitu Muslim bin Yasar Abi Utsman dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhuma. Dalam lafadz Ibnu Majah, Ahmad, dan ad-Daarimiy:
Artinya: “Barang siapa yang diberi fatwa dengan satu fatwa yang tidak tsabit (yang tidak kuat karena tidak berdasarkan ilmu), sesungguhnya dosanya ditanggung oleh orang yang memfatwakannya.”
[3] Lihat Telah Datang Zamannya karya al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, hal 8-15.
[4] Allah Jalla wa ‘Ala telah memberikan hidayah kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhuma untuk bertanya kepada Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan dan kejahatan. Dan ini adalah salah satu dari sekian banyak dalil bahwa mereka adalah orang-orang yang paling ‘alim tentang kebaikan dan kejahatan. Dan menunjukkan juga bahwa mereka sangat takut terhadap kejahatan yang mungkin akan mengenai mereka. Oleh karena itu kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti manhaj mereka. Dan hadits ini juga menunjukkan tentang keutamaan Hudzaifah sebagai seorang Shahabat besar yang banyak mengetahui berbagai macam rahasia sehingga beliau diberi gelar shaahibussir.
[5] Yakni sebelum Islam datang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Masa itu secara umum dan merata dinamakan zaman jahiliyyah. Tetapi setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tidak ada lagi zaman jahiliyyah yang merata pada seluruh manusia, tempat dan waktu. Namun demikian, sifat dan perbuatan orang-orang di zaman jahiliyyah ada yang diulangi oleh orang-orang pada zaman sekarang, seperti meratapi kematian, tahlilan, mencela keturunan, dan sebagainya.
[6] Yakni dengan keimanan dan keislaman yang membawa kepada keamanan, keselamatan, kemaslahatan, dan kebahagiaan. Sebelum mereka masuk Islam, kehidupan pada zaman jahiliyyah dipenuhi dengan kejahatan. Tidak ada rasa aman, penuh dengan kesengsaraan dan marabahaya. Dan setelah para Shahabat radhiyallahu ’anhuma masuk Islam, kehidupan mereka berubah drastis, dari syirik kepada tauhid, dari bid’ah kepada Sunnah, dan dari kejahatan kepada kebaikan, dari rasa takut kepada rasa aman, dari kesengsaraan kepada kebahagiaan, dan seterusnya.
[7] Yakni kekotoran, yang menunjukkan bahwa kebaikan itu sudah tidak sempurna lagi, tidak murni lagi, karena telah tercampur dengan keburukan dan kejahatan sehingga kebaikan itu menjadi keruh dan kotor.
[8] Inilah yang dimaksud dengan kekeruhan dan kekotoran di atas, yaitu bid’ah. Karena lawan dari Sunnah adalah bid’ah. Kaum ini dikatakan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam telah beramal dengan cara atau Sunnahnya sendiri bukan dengan Sunnah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Dan tidak mengikuti petunjuk beliau, padahal sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau. Dan dari hadits yang mulia ini dapat diketahui bahaya dan kerusakan bid’ah dan ahlinya yang dapat mengotori Islam dan amal kaum muslimin sehingga menjadi tidak bersih lagi.
[9] Yakni diantara amal-amal mereka ada yang engkau ketahui dan engkau kenali karena sesuai dengan Sunnah, dan ada juga yang engkau ingkari karena menyalahi Sunnah dan mereka telah beramal dengan amal-amal bid’ah.
[10] Du’aatun bentuk jamak dari daa’i. Yang artinya bahwa mereka ini adalah orang-orang yang menyeru, menyampaikan atau berda’wah. Hal ini menunjukkan bahwa mereka berjuang dengan perjuangan yang besar untuk mengajak kaum muslimin kepada madzhab mereka dengan berbagai macam cara dan sarana yang dapat dipergunakan untuk menawan hati kaum muslimin agar mengamini da’wah mereka.
[11] Ini menunjukkan bahwa da’wah mereka adalah sesat dan menyesatkan. Karena itu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan bahwa mereka berada di pintu-pintu jahannam. Ulama mengatakan bahwa mereka ini adalah ahli-ahli bid’ah dari berbagai macam firqoh-forqoh sesat – bahkan sebagiannya telah keluar dari Islam seperti kaum zindiq yang tergabung dalam madzhab baatiniyyah – yang menda’wahkan bid’ah mereka seperti raafidhah atau syi’ah, khawarij, mu’tazilah, jahmiyyah, kaum falasifah, madzhab sekulerisme, seruan demokrasi, dan lain-lain. Mereka semua ini adalah da’i-da’i yang berada di pintu-pintu jahannam.
[12] Ini merupakan nasihat dan peringatan bagi kaum muslimin agar tidak mengijabah da’wah mereka yang memanggil ke pintu-pintu jahannam. Tidak ada jalan bagi kaum muslimin untuk menghindarinya kecuali dengan berpegang teguh dengan Sunnah Nabi yang mulia shallallahu ’alaihi wa sallam dan manhaj para Shahabat radhiyallahu ’anhum.
[13] Sifat mereka menunjukkan bahwa mereka dari Arab, baik nasab (keturunan) atau lughoh (bahasa). Dan ini menunjukkan bahwa mereka dari kalangan kaum muslimin, karena mereka berbicara dengan bahasa kita, yaitu bahasa Islam. Tetapi mereka dari rombongan ahli bid’ah, baik orang perorangnya atau dari kelompok-kelompok sesat dengan da’wah bid’ahnya yang sangat menyesatkan kaum muslimin. Sebagian dari mereka telah keluar dari Islam walaupun lahiriyahnya mengatasnamakan Islam.
[14] Jama’ah kaum muslimin semuanya yang dipimpin oleh seorang khalifah atau imam. Hadits yang mulia ini menjadi hujjah bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah untuk tidak keluar memisahkan diri dari imam kaum muslimin meskipun mereka fasiq. Ini adalah perbuatan bid’ah dari firqoh-firqoh sesat seperti khawarij, mu’tazilah dan sebagainya. Adapun ’aqidah Ahlus Sunnah mewajibkan taat kepada ulil amri selama tidak diperintah untuk bermaksiat kepada Allah atau menyalahi Sunnah, maka tidak boleh taat. Tetapi juga tidak boleh keluar memisahkan diri dengan mengkudeta atau memberontak.
[15] Riwayat Bukhari (no. 3606, 3607, dan 7084) dan Muslim (no. 1847). Baca syarah hadits ini di Syarah Muslim (juz 12 hal 236) an-Nawawi. Fathul Baari’ Syarah Bukhari (no 7084). Dan Limadza Ikhtartu Manhaj as Salafiy oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.
[16] Diringkas dari al-Qaulul Mubin fii Jama’atil Muslimin. Disalin dari majalah adz-Dzkhiirah al-Islamiyah Edisi 13 Th. III Shafar 1426H/ April 2005M, hal. 22-26. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad. Jl. Sultan Iskandar Muda No. 45 Surabaya.
[17] Hadits riwayat Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud nomor 4607 dan at-Tirmidzi nomor 2676, ad-Darimy (I/44), al-Baghawy (I/205), al-Hakim (I/95), dishahihkan oleh Syaikh al-Albany dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 2455)
adakah pesantrennya di wilayah cirebon atau dimanakah,ya ustadz?
BalasHapus