Penulis: Al-Ustadz Abu Khaulah Zainal Abidin
Sungguh saat itu akan datang sebagaimana telah sering aku saksikan ia mendatangi orang lain, teman-temanku, tetanggaku, bahkan orang tua atau kerabatku.
Sungguh, saat itu tak mungkin kuduga sebagaimana juga mereka tak pernah menduga didatangi oleh nya. Sungguh dia akan menjemput aku pergi ke tempat yang tak mampu aku bayangkan, tempat yang tak pernah kembali lagi mereka yang pergi ke sana, tempat yang di sana aku akan dihadapkan dengan pertanyaan.
Sungguh, semua itu benar adanya. Tak ada alasan bagi ku untuk tidak percaya hal itu bakal terjadi, sebagaimana tak ada alasan bagi ku untuk mengingkari adanya Al Khaliq. Juga sebagaimana tak ada alasan bagi ku untuk memungkiri adanya getaran kegelisahan dalam bathinku tatkala aku melakukan perbuatan yang fitrahku mengenalnya sebagai dosa.
Hanya saja.. Sanggupkah aku menghadapi itu? Saat di mana aku didudukkan di lubang yang gelap, kemudian datanglah kepada ku dua malaikat mengajukan pertanyaan: Siapa Rabb-mu, apa agamamu, dan siapa nabimu?
Sanggupkah aku menjawabnya?
Apa yang akan aku katakan, ketika ditanya tentang siapa Rabb-ku? Cukupkah kujawab: Rabb-ku adalah ALLAH? Semudah itukah menghadapi fitnah kubur? Rasanya tidak. Tidak akan semudah itu. Sebagaimana telah tertanamkan dalam jiwaku keyakinan akan adanya Engkau, tertanam pula keyakinan bahwa tidaklah segala sesuatu itu ada dan terjadi dengan sendirinya serta tanpa maksud dan tujuan.
Lantas bolehkah terlintas dalam benakku: “Mustahil aku akan tersesat dan terjatuh ke dalam kekufuran?” Bolehkah terucap lewat lisanku: “Keberhasilan yang aku peroleh adalah semata-mata hasil prestasiku?” Bolehkah aku beranggapan: “Bahwa tanda keridhoan-Mu adalah dengan terjadinya apa yang terjadi atau berlakunya apa yang hendak aku lakukan?”
Sungguh tak mungkin aku mengatakan: “Alangkah kejamnya Engkau, membiarkan seorang bayi lahir dalam keadaan cacat. Alangkah tak adilnya Engkau, membiarkan pelaku maksiat sejahtera bermandikan kesenangan, sedangkan mereka yang ta’at dalam keadaan miskin berlumurkan kesengsaraan.” Sungguh tak mungkin aku mengatakannya. Namun, mengapa sering bathin ini protes manakala aku tertimpa musibah atau doaku tak kunjung terkabul?
Ya Allah.. Ternyata tak ada jalan untuk mengenal Mu kecuali melalui diri-Mu. Kalau bukan karena hidayah-Mu, sungguh akan tertanam dalam batinku, terucap dari lisanku, dan terwujud lewat perbuatanku segala yang bertentangan dengan kekuasaan-Mu, bertentangan dengan hak-Mu untuk diibadahi, serta bertentangan dengan kemuliaan nama-nama dan sifat-sifat- Mu. Maka, sudahkah aku mengenal segala kekuasaan-Mu dan mengakui keesaan-Mu dalam hal mencipta, memiliki, dan mengatur alam semesta ini?
Kemudian, apa yang akan aku katakan ketika ditanya tentang apa agamaku? Cukupkah kujawab: Agamaku Islam? Semudah itukah menghadapi fitnah kubur? Rasanya tidak. Tidak akan semudah itu. Sebagaimana telah tertanam di dalam jiwaku keyakinan akan kesempurnaan agama ini, tertanam pula keyakinan bahwa agama ini disampaikan kepada manusia agar mereka memperoleh kemudahan dan kebahagiaan hidup di dunia, sebelum di akhirat kelak tentunya.
Lantas bolehkah terlintas dalam benakku: “Agama ini tidak realistis, kurang membumi?” Bolehkah terucap lewat lisanku: “Jaman sekarang ini jangankan mencari yang halal, mencari yang haram saja susah?” Bolehkah aku beranggapan: “Semua agama itu baik?”
Sungguh tak mungkin aku mengatakan: “Alangkah enaknya menjadi orang-orang kafir di muka bumi ini, alangkah kunonya agama ini, dan alangkah sempit serta terbatasnya ruang ibadah yang tersedia di sana.” Sungguh tak mungkin aku mengatakannya. Namun mengapa sering bathin ini protes manakala terasa dunia dan segala suguhannya tak memihak kepada ku? Mengapa bathin ini diam saja dan tak sedikitpun tergerak untuk membenci mereka yang menghujat agama
ini?
Ya Allah.. Kalau bukan karena hidayah-Mu; sungguh akan tertanam di dalam bathinku, terucap dari lisanku, dan terwujud lewat perbuatanku segala yang bertentangan dengan agama yang mulia ini. Bahkan boleh jadi aku tak mengenal agama ini sebagaimana ia diperkenalkan oleh pembawanya. Boleh jadi aku tak mengenal keseluruhan aturan yang ada di dalam nya. Dan boleh jadi aku telah terjatuh ke dalam perbuatan yang telah mengeluarkan aku dari nya.
Kemudian, apa yang akan aku katakan ketika ditanya tentang siapa nabiku? Cukupkah kujawab: Nabiku Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam? Semudah itukah fitnah kubur? Rasanya tidak. Tidak akan semudah itu. Sebagaimana telah tertanam keyakinan dalam bathinku tentang kemuliaan akhlaqnya, sifat amanahnya, dan kejujurannya; tertanam pula keyakinan bahwa dialah Shallallahu 'Alaihi Wasallam teladan terbaik bagi umat manusia.
Lantas bolehkah terlintas dalam benakku: “Ada jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala selain dari yang telah dicontohkan oleh beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam?” Bolehkah terucap lewat lisanku: “Memelihara jenggot itu jorok, menjilat-jilati jari sehabis makan itu juga jorok, dan poligami itu jahat?” Bolehkah aku beranggapan: “Mengikuti Sunnahnya itu tidak wajib?”
Sungguh tak mungkin aku mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam lupa menyampaikan ini dan itu. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sengaja menyembunyikan risalah atau Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak mengetahui apa yang baik bagi umatnya.” Sungguh tak mungkin aku
mengatakannya. Namun mengapa sering bathin ini protes dan merasa berat dengan apa yang telah ia tetapkan dan contohkan? Mengapa akal dan hawa nafsu ini sering merasa lebih tahu -tentang baik dan buruk- ketimbang beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam?
Ya Allah. Kalau bukan karena hidayah-Mu; sungguh akan tertanam di dalam bathinku, terucap dari lisanku, dan terwujud lewat perbuatanku berbagai pengingkaran terhadap kenabian dan kerasulan Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Boleh jadi itu bermula dari acuh tak acuhnya aku untuk mengenal nama-nama dan nasab beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan dari kurang minatnya aku membaca serta mempelajari riwayat hidupnya. Akhirnya butalah aku akan sunnah-sunnahnya dan tak mengertilah aku akan misi risalahnya. Dan jadilah aku orang yang hanya ikut-ikutan menyebut namanya tanpa memahami pertanggung jawabannya.
Sanggupkah aku menjawabnya?
Sungguh, aku akan berhadapan dengan pertanyaan yang jawabnya tak cukup di lisan, tetapi dari dalam keyakinan dan dibuktikan oleh perbuatan. Bukan hasil dari menghafal, tetapi dari beramal. Tak ada yang sanggup menuntun aku untuk menjawabnya kelak kecuali Engkau, Ya Allah. Aku tahu itu dan aku yakin, sebagaimana telah Engkau janjikan:
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat...” (QS. Ibrahim: 27)
Sumber: Ushuluts Tsalatsah
Link mirror: Sanggupkah Aku
Menjawabnya. pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar