إبن إسـمـاعيـل المــهـاجـريـن

Foto saya
Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.

Kamis, 21 Mei 2009

Bolehkah Berkata “Seandainya..”

Oleh Al-Ustadz Abu Haidar As-Sundawi

Salah satu diantara sekian banyak penyimpangan yang dilakukan oleh lisan adalah mengatakan “Seandainya...“ yang digunakan untuk menggugat taqdir atau syariat, atau untuk mengungkapkan kerugian dan penyesalan terhadap apa yang sudah terjadi. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:” Mereka (orang-orang munafiq ) berkata:” Seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini pasti kita tidak akan terbunuh disini.” (QS. Ali Imran: 154). Ini adalah ungkapan seandainya dalam rangka menggugat syariat.

Yang menjadi asbabun nuzul ayat ini adalah peristiwa yang diceritakan oleh Abdullah Bin Zubair pada waktu perang Uhud. dia berkata: Telah berkata Zubair:” Aku melihat diriku bersama-sama Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam ketika kami ditimpa rasa takut yang amat sangat, lalu Allah memberi rasa ngantuk kepada kami. Tak ada seorangpun diantara kami kecuali merasakan ketakutan ini pada hati mereka. Dia berkata lagi: Maka demi Allah, aku mendengar ucapan Muattib Bin Qusyair, aku tidak mendengarnya kecuali seperti mimpi. Muattib mengatakan: “Seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini, pasti kita tidak akan terbunuh disini.” Aku Menghafalkan ucapan ini, maka lalu Allah menurunkan ayat: ”Mereka berkata: ”Seandainya kita mempunyai hak campur tangan dalam hal ini maka kita tidak akan terbunuh disini.”[1] Lalu Allah menjawab:’ Katakan olehmu: Seandainya kalian berada di rumah-rumah kalian, maka pasti akan keluarlah orang-orang yang telah ditetapkan mati untuk menuju ke tempat kematian mereka !” Jadi kematian ini adalah taqdir yang sudah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla , dan ketetapan yang pasti yang tidak bisa dihindari.

Perkataan mereka yang menyatakan: ”Seandainya kita memilki hak campur tangan dalam urusan ini …” dan seterusnya merupakan gugatan terhadap syariat karena mereka mencela Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam ketika menetapkan harus keluar dari Madinah untuk menyongsong musuh di bukit Uhud tanpa persetujuan mereka. Mungkin juga ini termasuk gugatan terhadap taqdir, maksud perkataan mereka: Seandainya kami memiliki strategi dan pendapat yang bagus maka kita tidak akan keluar dan tidak akan terbunuh.

Dan firman-Nya pada ayat yang lain: ”Orang-orang yang berkata kepada saudara-saudara mereka dan mereka tidak ikut berperang: ”Seandainya mereka megikutii kita, maka mereka tidak akan terbunuh.” (QS. Ali Imran: 168). Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini menyatakan bahwa maksud perkataan mereka adalah: ”Seandainya mereka (Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dan para sahabatnya) mendengar musyawarah kami dan tetap tinggal dan tidak keluar dari Madinah maka mereka tidak akan terbunuh bersama orang-orang yang sudah gugur. Maka Allah menjawab: ”Katakan olehmu: ”Tolaklah kematian dari diri-diri kalian bila kalian orang-orang yang benar.” Maksudnya adalah apabila dengan tetap tinggal bisa menyelamatkan seseorang dari kematian maka pasti kalian tidak akan mati. Kematian pasti datang kepada kalian sekalipun kalian berada di balik peti besi yang kuat. Maka hindarilah kematian dari diri kalian kalau kalian orang-orang yang benar. Kata Mujahid, dari Jabir Bin Abdullah, ayat ini turun tentang Abdullah Bin Ubay, artinya dialah yang mengatakan perkataan ini.[2]

Syaikhul Islam mengatakan ketika menerangkan tentang apa yang terjadi pada diri Abdullah Bin Ubay bahwa ketika dia menyendiri pada waktu perang Uhud, dia berkata: ”Dia (Muhammad) meninggalkan pendapatku dan mengambil pendapat anak-anak?” Lalu bergabunglah sekelompok besar orang-orang. Mereka belum menjadi munafiq sebelum itu. Tadinya mereka adalah muslimin, mereka tadinya memiliki keimanan yang dimisalkan sebagai cahaya oleh Allah.[3]

Perkataan ini diucapkan pada waktu perang Uhud ketika Abdullah Bin Ubay mengundurkan diri di tengah jalan dengan membawa sepertiga dari jumlah pasukan yang sedang menuju Uhud. Ketika sejumlah 70 orang kaum muslimin gugur sebagai syahid pada perang itu, maka orang-orang munafiq mengritik ketetapan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. Mereka mengatakan: ”Seandainya mereka menurut kepada kita dan kembali pulang sebagaimana kita maka mereka tidak akan terbunuh. Maka ketetapan kita lebih baik daripada ketetapan Muhammad.” Perkataan ini haram, bahkan mungkin saja bisa sampai kepada kekafiran. Allah berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menyerupai orang-orang kafir dan berkata kepada saudara-saudara mereka apabila mereka bepergian di muka bumi atau mereka pergi berperang: ”Seandainya mereka bersama-sama kami maka mereka tidak akan mati dan tak akan terbunuh.” ( QS. Ali Imran: 156). Ini adalah bentuk gugatan terhadap taqdir.

Jadi mengatakan seandainya dalam rangka menggugat taqdir atau syariat adalah terlarang.

Demikian juga mengatakan seandainya untuk mengungkapkan penyesalan dan kerugian tentang apa yang sudah terjadi termasuk hal yang diharamkan. Nabi shalallahu’alaihi wasallam bersabda: ”Bila kamu ditimpa satu musibah maka janganlah kamu mengatakan: ”Seandainya tadi aku melakukan ini dan ini maka pasti akan terjadi begini-begini.” Akan tetapi katakanlah: ”Ini adalah taqdir Allah dan apa saja yang Dia kehendaki pasti Dia laksanakan.” Karena perkataan seandainya itu bisa membuka amalan syetan.”[4]

Contohnya apabila ada seseorang yang berminat membeli sesuatu yang dikiranya akan memperoleh keuntungan dari hal itu tapi ternyata rugi, lalu dia mengatakan: ”Seandainya saya tidak membelinya maka pasti saya tidak akan rugi.” Ini adalah penyesalan dan keluhan yang banyak dilakukan manusia. Dan ini adalah terlarang.

Yang dimaksud musibah dalam hadis ini adalah segala hal yang tidak diinginkan dan tidak disukai, serta apa yang bisa menghalangi tercapainya tujuan dari usaha yang sedang dilakukan. Maka siapa yang cita-citanya tidak sesuai dengan apa yang telah Allah taqdirkan sehingga dia tidak memperoleh apa yang diinginkannya maka dia tidak akan terlepas dari dua keadaan:

1. Dia akan mengatakan: Seandainya tadi saya tidak melakukan ini maka tidak akan terjadi begini.

2. Dia akan mengatakan: Seandainya saya tadi melakkukan ini pasti akan terjadi begini.

Contoh yang pertama adalah perkataan: Seandainya saya tidak bepergian, maka keuntungan tidak akan hilang.

Contoh yang kedua adalah perkataan: Seandainya saya pergi pasti saya akan untung.

Nabi shalallahu’alaihi wasallam dalam hadis ini menerangkan contoh yang kedua dan bukan yang pertama karena orang ini beramal dan dia mengatakan: “Seandainya saya melakukan seperti pekerjaan si Fulan dan bukan perkerjaan yang saya lakukan ini maka pasti akan tercapailah keinginan saya.” Berbeda dengan orang yang tidak melakukan maka sikapnya akan pesimis.

Orang yang ditimpa musibah harus mengatakan: Ini adalah taqdir Allah dan apa saja yang Dia kehendaki pasti Dia laksanakan.” Maksudnya adalah bahwa yang terjadi ini adalah taqdir Allah dan bukan tanggung jawab saya. Adapun tanggung jawab saya maka saya telah berusaha melakukan apa yang saya lihat bermanfaat sebagaimana yang diperintahkan kepada saya. Dan ini adalah sikap taslim (pasrah yang sempurna kepada ketentuan Allah Azza Wajalla dan manusia apabila telah melakukan apa yang diperintahkan sesuai dengan syariat maka dia tidak boleh dicela dan urusannya diserahkan kepada Allah.

Yang dimaksud dengan “amalan syetan” dalam sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam diatas adalah apa yang dia campakkan ke dalam hati manusia berupa menyesalan dan kesedihan, karena syetan amat menyukai hal itu. Allah berfirman: “Sesungguhnya bisik-bisik itu hanyalah dari syetan untuk membuat sedih orang-orang yang beriman, dan dia tidak akan membahayakan sedikitpun kecuali dengan izin Allah.” (QS. Al Mujadilah: 10), sehingga dalam tidurpun syetan suka memperlihatkan mimpi-mimpi yang menakutkan untuk mengeruhkan kejernihan pikiran manusia dan mengganggu pikirannya. Ketika itu manusia tidak akan konsentrasi dalam beribadah sebagimana mestinya. Oleh karena itu Nabi shalallahu’alaihi wasallam melarang shalat dalam keadaan konsentrasi pikiran kita terganggu. Beliau bersabda: ”Tidak ada shalat dengan kehadiran makanan dan dalam keadaan dia sedang menahan dua desakan.”[5]

Bila seseorang ridha menjadikan Allah sebagai Tuhannya dan berkata ini adalah ketetapan Allah dan taqdir-Nya dan hal ini pasti terjadi, maka akan tenanglah hatinya dan lapanglah dadanya.
_______________
[1] Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya nomor 1697. Ibnu Ishaq, sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir 2/126 dan sanadnya hasan.
[2] Tafsir Ibnu Katsir 2/139.
[3] Majmul Fatawa 7/280.
[4] Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Zuhud, bab Seorang mukmin semua urusannya baik. 4/2295, dari Shuhaib Bin Sinan Radhiyallahu Anhu .
[5] Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Al Masajid 1/39

Sumber: Tulisan Ustadz Abu Haidar
Dicopy dari: Salafiyunpad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar